Selasa, 16 Juni 2009

Pilpres Iran yang Penuh Warna


Pilpres Iran yang Penuh Warna
Tanggal 12 Juni kemarin, warga Iran kembali memberi kejutan. Tak kurang dari 85% pemilih memberikan suaranya. Artinya, sekitar 40 juta orang dari 46 juta warga sudi mengantri berjam-jam untuk memberikan suara. Komisi Penyelenggara Pemilu sampai harus menambah tenggat penutupan TPS beberapa jam lagi, lantaran berjubelnya warga yang hendak berpartisipasi.
Tapi, bagi Prof. Mahdi Khourshad, kejutan yang sebenarnya bukan di situ. Lahirnya kepemimpinan generasi kedua revolusi yang menantang atau mengoreksi kepemimpinan generasi pertama—itulah kejutan terbesar. Dan tak seperti kebanyakan revolusi lain, regenerasi di Iran itu berlangsung mendebarkan melalui proses yang demokratis. Inilah salah satu dari sekian “keganjilan” revolusi Islam Iran yang barangkali belum ada bandingannya.
Seperti sudah kita ketahui, Mahmoud Ahmadinejad adalah presiden Iran pertama yang tidak termasuk dalam lingkaran dekat Imam Khomeini, sang pemimpin revolusi Islam Iran 1979. Dia datang nun jauh dari luar elit politik yang telah berkuasa sejak 1979 hingga 2004 silam. Dia tidak bermain dengan jargon kiri dan kanan, konservatif dan reformis, ulama dan intelektual. Dia bahkan secara khusus tidak disukai oleh sebagian besar keluarga Imam Khomeini yang memang bertalian darah dengan tokoh reformis Khatami. Pendeknya, dia adalah nobody di blantika perpolitikan Iran sebelum tahun 2003.
Tak heran apabila politisi-cum-milyuner-cum-ulama paling berpengaruh di Iran, Hashemi Rafsanjani, mengirim surat pada rekannya Raja Arab Saudi bahwa pemerintahan Ahmadinejad akan terguling dalam enam bulan. Rafsanjani mengirim surat itu sesaat setelah Ahmadinejad terpilih sebagai presiden tahun 2005. Kalkulasi politik Rafsanjani berdasar pada minimnya rekam jejak Ahmadinejad dalam politik, sehingga di puncak sana secara perlahan dan alamiah dia akan mengalami kemakzulan.
Tapi Rafsanjani keliru besar. Ahmadinejad memang tak mengenal dan tak mau akrab dengan elit. Selama kepemimpinannya, dia terus berkubang di tengah rakyat, menjejalkan diri di antara warga miskin dan menjadi presiden paling banyak mengunjungi desa-desa terpencil Iran. Popularitasnya meroket seiring berjalannya waktu, lantaran model kepimpinan Ahmadinejad yang bersajaha, trengginas, cerdas, kerja keras dan sebagainya. Ciri-ciri inilah yang membuatnya menjadi sangat kontras dengan Rafsanjani, Khatami, Moussavi, Karroubi, Nateq Nuri dan sebagainya yang terkesan aristokratik.
Upaya rival-rival Ahmadinejad untuk membawa-bawa slogan kedekatan dengan Imam Khomeini sedikit berdampak. Keluarga Imam Khomeini yang secara terang-terangan mendukung Moussavi pun tak digubris oleh puluhan juta rakyat Iran. Seolah rakyat Iran bisa membedakan Khomeini dengan keluarga Khomeini—sebuah kemewahan rasional yang jarang dimiliki oleh rakyat-rakyat lain di dunia ketiga.
Kejutan lain dari pemilu kali ini adalah kehadiran saksi tiap-tiap kandidat di semua TPS. Kementerian Dalam Negeri telah memfasilitasi kehadiran saksi-saksi tersebut untuk mengawasi proses pemungutan maupun penghitungan suara.
Kejutan lain yang tak kalah menariknya ialah penayangan program debat capres di televisi nasional. Debat capres yang berlangsung keras, sengit dan kontroversial itu setidaknya menyedot 40-an juta penonton. Malah, banyak yang memperkirakan bahwa debat antara Ahmadinejad dan Moussavi pada 2 Juni lalu menyedot 50 juta penonton.
Dalam debat terbuka itulah Ahmadinejad melancarkan serangannya terhadap Rafsanjani yang dianggap sebagai dalang di balik semua kandidat lain, terutama Moussavi. Ahmadinejad menuduh Rafsanjani sebagai dalang permainan politik elit yang korup, amoral, berpindah-pindah muka dari ultra konservatif menjadi ultra reformis dan sebagainya. Ahmadinejad menganggap bahwa permainan Rafsanjani dan Khatami itu tak menguntungkan rakyat dan merusak cita-cita revolusi Islam Iran.
“Untuk apa membawa-bawa kedekatan kalian dengan Imam Khomeini,” serang Ahmadinejad pada Rafsanjani, Khatami dan Moussavi, “kalau tak satu pun ciri beliau ada pada kalian. Kedekatan kalian pada waktu itu tak berlaku saat ini, karena ukuran yang sebenarnya adalah apa yang terjadi hari ini.”
Pilpres kali ini juga mengguncang relasi-relasi kekuasaan yang telah lama terjalin. Misalnya, relasi kubu Rafsanjani, Khatami dan keluarga Imam Khomeini dengan Khamenei di satu sisi dan relasi Rafsanjani dengan kelompok revolusioner di sisi lain. Saat Ahmadinejad menyerang keras Rafsanjani, Khatami, Nateq Nuri dan elit kekuasaan yang ditengarai dekat dengan Khamenei di depan publik, Rafsanjani menulis surat pada Khamenei. Dalam surat itu, Rafsanjani meminta Khamenei selaku pemimpin tertinggi Iran untuk menindak tegas dan menegur Ahmadinejad “demi terjaganya persatuan dan kedamaian”.
Tapi Khamenei tak bergeming. Rafsanjani kemudian mendatangi Khamenei dua hari menjelang piplres. Selepas pertemuan itu, satusan ribu pesan singkat menyebar ke pelbagai lapisan masyarakat bahwa Khamenei menyesalkan sikap dan perilaku Ahmadinejad. Kubu Ahmadinejad berang. Permainan politik Rafsanjani, terutama langkahnya membawa Khamenei dalam kancah politik praktis, dianggap sebagai preseden yang sangat berbahaya.
Menanggapi gosip-gosip itu, setelah memasukkan suaranya di bilik, Khamenei mengadakan konferensi pers. Di situ dia mendustakan semua gosip yang beredar lewat sms itu. Dia juga meminta semua pihak waspada akan permainan politik yang licik dan merusak. Dia justru meminta semua warga memberikan suara berdasarkan pilihan bebasnya tanpa tekanan dari siapapun.
Keberhasilan Ahmadinejad memperoleh 24 dari 39 juta suara adalah pertanda babak baru dari cerita panjang revolusi Islam Iran. Barangkali inilah awal dari revolusi ketiga yang diusung Ahmadinejad 4 tahun silam—sebuah revolusi yang menjanjikan koreksi dan revisi. Pada pidato kemenangannya di hadapan ratusan ribu warga Teheran, Ahmadinjead berseru, “Kenapa kalian tidak senang saya menjadi presiden di Iran? Apakah karena saya orang miskin dan bertampang dusun? Buat saya, istana-istana kalian tidak lebih berharga daripada sehelai rambut jutaan orang miskin di negeri ini?”
Boleh jadi juga hasil pilpres itu menandakan high call rakyat Iran atas tawaran Presiden AS Barack Obama. Seperti terungkap dalam laporan utama Newsweek edisi Mei 09, bangsa Iran sejatinya adalah kaum saudagar (bazari) yang suka melakukan tawar menawar dalam posisi yang kuat.

Tidak ada komentar: