Senin, 15 Juni 2009

Kilas Balik Pemilu Iran: Revolusi Ketiga Telah Dimulai [1]



Rahbar
Rahbar sedang memasukkan suara
Setelah menanti berbulan-bulan, akhirnya rakyat Iran menjadikan pesta demokrasi tanggal 12 Juni 2009 (22 Khordad 1388) sebagai peristiwa bersejarah. Persentase rakyat yang berpartisipasi meningkat luar biasa mencapai 85 persen dari jumlah pemilih 46 juta 200 ribu, yakni hampir 40 juta rakyat Iran pada hari Jumat itu memadati tempat-tempat pemungutan suara. Mahmoud Ahmadinejad untuk kedua kalinya terpilih sebagai Presiden Republik Islam Iran selama 4 tahun ke depan dengan perolehan suara 24 juta. Angka yang luar biasa dalam sejarah pemilihan umum presiden Iran selama 30 tahun terakhir.
Fenomena bersejarah ini semakin urgen mengingat pemilu kali ini adalah pemilu pertama dalam dekade keempat Revolusi Islam Iran. Tanggal 22 Khordad harus dicatat sebagai “Revolusi Ketiga” rakyat Iran sebagai lanjutan Revolusi Pertama dan Kedua di masa Imam Khomeini ra. Revolusi Pertama adalah kemenangan Revolusi Islam itu sendiri dan Revolusi Kedua terjadi saat para mahasiswa menduduki Kedutaan Besar Amerika di Tehran yang dipakai sebagai markas mata-mata Amerika bukan hanya untuk Iran tapi di Timur Tengah. Revolusi Ketiga rakyat Iran menjelang dekade keempat Revolusi Islam sejatinya adalah operasi besar agar tubuh revolusi disucikan dari sistem yang korup, diskriminatif dan tidak adil.

Namun pemilu kali ini juga mencatat beberapa hal menarik yang akan dibicarakan dalam bagian lain dari kilas balik pemilu Iran seperti Revolusi Hijau, Proyek Reformasi, Jaringan Mafia dan lain-lain.

Saat ini mungkin terlalu cepat untuk menganalisa seluruh dimensi heroik pemilu 22 Khordad atau 12 Juni 2009, namun pentingnya masalah membuat setidak-tidaknya ada bagian dari pilpres Iran yang perlu dibeberkan di sini. Dengan demikian diharapkan dapat membantu untuk menganalisa lebih jauh masalah ini. Berikut ini ada beberapa poin yang patut dicermati yang muncul dari satu pertanyaan besar, apa pesan rakyat Iran dalam pemilu presiden kesepuluh?

Pertama, hal yang perlu dicatat bahwa pemenang sejati pilpres Iran ke-10 adalah rakyat Iran sendiri. Sekitar 40 juta orang dari 46 juta pemilih yang memenuhi syarat memilih membludaki tempat-tempat pemungutan suara menunjukkan loyalitas mereka terhadap Revolusi Islam yang dibangun oleh Imam Khomeini ra. Pilpres ke-10 ini pada hakikatnya adalah kemenangan sejati Islam dan cita-cita Revolusi Islam atas model khayalan dan interpretasi atas Islam. Yakni fenomena warna hijau yang sejatinya menjadi warna yang disucikan oleh rakyat Iran. Warna yang menjadi simbol keturunan Rasulullah saw telah dipolitisasi untuk merebut simpati rakyat. Sejatinya pemilu kali ini adalah “perang” Revolusi Ketiga dan Revolusi Hijau. Dan terpilihnya Mahmoud Ahmadinejad membuktikan kemenangan Revolusi Ketiga atas rivalnya.

Kedua, hasil pemilihan umum presiden ke-10 menunjukkan kemenangan kejujuran atas pembunuhan karakter, tuduhan tanpa bukti dan kebohongan. Rakyat Iran mampu membedakan antara kejujuran, transparansi dan loyalitas terhadap prinsip-prinsip moral dan cita-cita Revolusi Islam dengan perilaku yang menghalalkan segala cara. Sejak tiga bulan sebelum masa kampanye diumumkan, mereka yang telah menyatakan kesiapannya menjadi kandidat presiden dalam pilpres telah melontarkan pelbagai tuduhan tanpa bukti terhadap Mahmoud Ahmadinejad dan ini dengan sendirinya adalah pelanggaran atas peraturan pemilu. Terpilihnya kembali Mahmoud Ahmadinejad membuktikan rakyat Iran tetap waspada dan mencermati tindak-tanduk para kandidat.

Ketiga, pilpres Iran ke-10 membuktikan bahwa wacana yang lebih mendominasi di Iran adalah perang melawan kemiskinan, korupsi, kolusi, nepotisme dan diskriminasi. Wacana sosialisasi pesan-pesan Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Al-Udzma Sayyid Ali Khamenei yang menyebut reformasi dengan pengertian perang melawan kemiskinan, korupsi, kolusi, nepotisme dan diskriminasi. Terpilihnya Mahmoud Ahmadinejad sebagian besarnya berkat wacana ini yang disampaikannya saat debat terbuka dengan Mir Hussein Mousavi, kandidat kubu Reformasi. Debat yang berhasil membalikkan perimbangan kekuatan politik yang telah dibangun dengan susah payah oleh kelompok Revolusi Hijau yang berakhir pada kemenangan kelompok Revolusi Ketiga.

Keempat, rakyat yang hadir di tempat-tempat pemungutan suara membuktikan bahwa hubungan Liberalisme dan Demokrasi yang digembar-gemborkan Barat ternyata tidak begitu dalam dan masih ada peluang untuk mengajukan model lain, yaitu demokrasi agama. Bahkan dapat dikatakan bahwa masih banyak kesempatan untuk memanen cita-cita Revolusi Islam dari kebun demokrasi. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk takut akan proses demokrasi. Karena demokrasi harus dipandang sebagai cara untuk melayani rakyat.

Pilpres Iran ke-10 yang diselenggarakan tanggal 22 Khordad membawa pesan bahwa ada jarak lebar antara para politikus dan rakyat. Para politikus harus mengetahui tanda-tanda sebelum terjadi sebuah peristiwa. Rakyat Iran dalam pemilu kali ini mendemonstrasikan identitas hakikinya bahwa mereka tidak bersama para cendekiawan yang senantiasa lalai dan hanya memikirkan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Para cendekiawan yang berbicara mengenai kondisi rakyat hanya dari cafe dan ruang seminar. Sementara rakyat merasakan dan menyaksikan dikotomi kaya-miskin.

Mahmoud Ahmadinejad yang dipilih oleh rakyat adalah sosok yang tidak hanya hebat berbicara di podium PBB, tapi juga presiden (baca: pelayan) rakyat Iran yang masuk ke desa-desa terpencil melihat langsung apa yang dirasakan oleh rakyatnya. Presiden yang biasanya keluar dari rumahnya pukul 5 pagi dan kembali lagi ke rumahnya pada pukul 1 dini hari, akibat menumpuknya pekerjaan demi menyelesaikan masalah rakyatnya. Itupun ia harus merelakan waktu setengah jam hingga empat puluh lima menit untuk mendengarkan keluhan rakyat yang telah menantinya di depan rumahnya.

Selamat bagi kemenangan sang pelayan rakyat. Revolusi Ketiga telah dimulai!

Tidak ada komentar: