Rabu, 10 Juni 2009

Pemilu Iran dan Gerahnya Media Barat

Di dunia saat ini, pemilu merupakan simbol utama demokrasi. Kendati mekanisme pemilu di berbagai negara cukup beragam, namun semuanya memiliki tujuan yang sama, yaitu memberi peluang bagi rakyat untuk memperoleh hak dan menyuarakan aspirasinya. Salah satu ihwal menarik yang patut ditelisik dalam fenomena pemilu di negara-negara berkembang adalah upaya sejumlah negara dan media-media Barat yang berusaha mempengaruhi jalannya pemilu untuk kepentingan mereka. Upaya semacam itu tampak lebih kentara lagi di kalangan negara-negara yang menentang hegemoni Barat. Tentu saja, upaya semacam itu sejatinya merupakan pembunuhan demokrasi dan kebebasan.
Ahmadinejad
Pendukung Ahmadinejad
Ironisnya, Barat justru menerapkan standar ganda dan kerap kali menuding negara-negara lain mencederai demokrasi dan memasung kebebasan.

Pemilihan umum di Republik Islam Iran merupakan momentum yang sangat penting bagi negara-negara Barat. Iran merupakan negara revolusioner yang didirikan berlandaskan prinsip-prinsip Islam. Lebih dari tiga dekade negeri Para Mollah itu mempertahankan independensinya dan tak pernah tunduk terhadap tekanan Barat. Iran senantiasa menentang politik intervensif dan ekspansionis Barat, semacam kebijakan militeristik AS di Timur Tengah dan belahan dunia lainnya. Tidak itu saja, Iran juga mengajak negara-negara lain untuk bangkit menentang hegemoni Barat. Sebaliknya, Barat berusaha menuding Iran sebagai negara yang tidak demokratis dan mengesankan pemilu di negara itu hanya sekedar sandiwara.
Faktor lainnya yang membuat Barat begitu sensitif terhadap pemilu di Iran adalah jalan baru yang ditempuh Tehran dalam menegakkan pemerintahan yang berbasiskan aspirasi rakyat.

Demokrasi yang diusung Iran merupakan demokrasi yang terinspirasi oleh ajaran Islam, demokrasi religius yang menghadapkannya dengan demokrasi liberal ala Barat. Dalam demokrasi religius, rakyat menyuarakan aspirasinya berdasarkan prinsip dan nilai-nilai rasional sementara ajaran Islam menjadi pedoman yang jelas dan terpercaya bagi rakyat dan negara dalam mengungkapkan aspirasi dan bertindak.

Karena itu, Barat sangat khawatir model demokrasi religius dan politik independen yang diusung Iran bisa menjadi model yang ideal bagi masyarakat dunia khususnya, di kalangan negara-negara muslim. Sebab, dengan kian bertambahnya negara-negara yang independen, maka kepentingan Barat pun bisa kian terancam. Selain itu, kemampuan liberalisme dihadapan Islam pun akan dipertanyakan. Tak aneh bila setiap kali pemilu di Iran hendak digelar, media-media massa Barat berusaha mempengaruhi iklim politik di Iran dengan berbagai cara. Mereka juga berusaha mengesankan pemilu di Iran sekedar sandiwara dan memprovokasi warga untuk memboikot pemilu. Menyangkut hal ini, Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatollah al-Udzma Sayid Ali Khamenei mengungkapkan, "Musuh-musuh negara ini tidak ingin Republik Islam Iran, yang mempertahankan identitas agama, berbasiskan pada aspirasi rakyat, dan manifestasi agung demokrasi religius, menjadi dikenal sebagai model yang sukses di kawasan regional dan dunia".

Untuk mengesankan tidak sehatnya pemilu di Iran, media-media Barat pun menghalalkan cara apapun. Salah satu caranya adalah dengan meragukan keberadaan demokrasi di Iran. Mereka berusaha mencitrakan bahwa sebagian posisi penting negara di Iran ditetapkan tanpa melewati mekanisme demokrasi dan rakyat sama sekali tidak memiliki campur tangan. Salah satu misal yang paling sering mereka kemukakan adalah masalah pengangkatan Rahbar atau pemimpin besar Revolusi Islam. Di masa lalu, pemerintah AS dan sejumlah negara-negara Eropa menyatakan bahwa penetapan rahbar di Iran dilakukan lewat cara-cara yang tidak demokratis.

Dalam sistem kenegaraan Republik Islam Iran, seorang rahbar harus dipegang oleh seorang ulama yang benar-benar menguasai ajaran Islam dan hukum-hukumnya. Selain itu, figur rahbar haruslah seorang yang bertakwa, adil, bijaksana, memiliki kemampuan politik dan memahami betul kondisi dalam dan luar negeri. Tentu saja untuk memilih figure semacam itu tidak bisa diserahkan begitu saja kepada rakyat awam. Karena itu dibentuklah sebuah lembaga negara yang disebut dengan istilah Dewan Ahli Kepemimpinan Revolusi Islam. Anggota lembaga itu dipilih langsung oleh rakyat. Mereka adalah wakil rakyat yang bukan hanya memiliki kemampuan politik tapi juga mesti menguasai ajaran Islam secara mumpuni. Dewan inilah yang berwenang untuk menetapkan siapa yang layak untuk menjadi rahbar atau pemimpin besar Revolusi. Selain itu, Dewan Ahli juga berfungsi sebagai lembaga yang mengawasi kinerja rahbar dan berhak memberhentikannya jika memang menyalahi undang-undang.

Saat ini, di sebagian besar negara, pemilihan umum dua tahap masih diberlakukan. Sebagaimana pemilihan presiden dan perdana menteri di negara-negara seperti Inggris, Australia, Kanada, Perancis, India, Jerman, dan Austria masih diterapkan lewat pemilu dua tahap. Sementara di Iran, presiden, anggota parlemen pusat dan daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.

Salah satu cara lain media barat untuk mencoreng reputasi pesta demokrasi di Iran adalah dengan memunculkan isu adanya pembatasan diskriminatif bagi para kandidat presiden atau legislatif. Padahal semua negara juga memberlakukan persyaratan minimal bagi setiap kandidat. Di Iran, setiap kandidat presiden ataupun calon legislatif harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan konsititusi. Dengan begitu, mereka yang bakal dipilih oleh rakyat benar-benar merupakan tokoh yang layak untuk dipilih. Dengan begitu, rakyat pun akan mudah memilih dalam menentukan pilihannya.

Selain dengan cara-cara tadi, media-media Barat juga berusaha mengesankan citra buruk pemilu di Iran dengan menunjukkan minimnya tingkat partisipasi warga dalam pemilu. Mereka sadar bahwa dengan tingginya partisipasi warga dalam pemilu bisa kian meningkatkan kekuatan legitimasi Republik Islam Iran di mata rakyatnya. Selama ini, Iran senantiasa membuka lebar dan menciptakan situasi yang kondusif supaya rakyat bisa berpartisipasi secara luas dalam pemilu. Rakyat Iran sendiri juga menyambut positif langkah tersebut dan hal itu bisa dilihat dari tingginya tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu. Di sisi lain, media-media Barat berusaha menciptakan rasa pesimis di kalangan rakyat Iran akan kondisi dan masa depan negaranya. Mereka berharap dengan cara itu, bisa membuat rakyat Iran putus asa terhadap pemilu. Namun nyatanya, pengalaman selama tiga dekade pasca kemenangan Revolusi Islam, propaganda kotor semacam itu selalu menemui kegagalan dan rakyat Iran pun tetap menunjukkan peran aktifnya dalam pemilu.

Tentu saja, iklim pemilu di Iran juga memberikan kebebasan bagi setiap faksi-faksi politik untuk menyuarakan pandangan dan kritikannya. Ironisnya, media-media asing berusaha membesar-besarkan kritikan lawan-lawan politik pemerintah dalam pemilu dan berusaha merusak reputasi pemerintahan Iran. Dengan begitu, mereka berharap rakyat akan menyambut dingin digelarnya pemilu.

Propaganda kotor lainnya yang kerap dilancarkan media-media Barat adalah dengan cara mendukung salah satu kandidat. Lewat berbagai trik-trik politik, mereka berusaha mengesankan bahwa salah satu kandidat memiliki pendukung yang lebih besar. Dengan cara itu, mereka berusaha mengarahkan opini publik untuk memilih kandidat tertentu.

Media-media Barat juga kerap melontarkan bahwa pemilu yang sehat dan demokratis di setiap negara hanya bisa terwujud jika telah lolos dari pengawasan lembaga-lembaga pemantau pemilu internasional. Karena itu, mereka lantas menuding pemilu di Iran berjalan tidak sehat dan bebas. Padahal, standar yang diungkapkan media-media Barat itu bukanlah satu-satunya tolak ukur. Mekanisme pemilu di Iran memiliki standar tersendiri dalam menentukan sehatnya pemilu yang tidak bisa dipengaruhi begitu saja oleh tekanan dari luar. Selain itu, tingginya partisipasi rakyat Iran dalam pemilu menunjukkan kepercayaan mereka terhadap sehatnya pemilu di negerinya.

Tidak ada komentar: