Rabu, 17 Desember 2008

18 tahun Fatwa Mati Salman Rushdi










Oleh: Saleh Lapadi

Penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw tidak pernah berhenti di Barat. Benar, Imam Khomeini pernah mengeluarkan fatwa hukuman mati atas Salman Rushdi. Namun, penghinaan terhadap Nabi Islam, Muhammad saw tidak pernah selesai. Permusuhan Barat terhadap Islam masih tetap berlangsung. Pemuatan karikatur yang menghina Nabi Muhammad saw di Denmark masih satu jalur dengan Ayat-ayat Setan Salman Rushdi. Sekalipun didemo di mana-mana, masih saja di sebagian negara-negara seperti Inggris, Azerbaijan dan terakhir Prancis yang proses pengadilannya tengah berlangsung, melakukan penghinaan.

Dengan nama-Nya Yang Maha Tinggi

Inna Lillahi Wa Inna Ilahi Rajiuun.

Saya beritahukan kepada kaum muslimin pemberani di seluruh dunia. Telah diterbitkan buku Ayat-ayat Setan yang menghina Islam, Nabi dan al-Quran. Penulis serta penerbit buku itu hukumannya adalah MATI!

Saya mengharap kepada seluruh kaum muslimin pemberani yang menemukan mereka di mana saja untuk membunuh mereka. Sehingga tidak ada lagi orang yang berani menghina hal-hal yang disucikan oleh kaum muslimin.

Siapa saja yang mati dalam usaha membunuh mereka, terhitung sebagai syahid Insya Allah. Perlu diketahui, bila seseorang mengetahui keberadaan si penulis buku, namun ia sendiri tidak dapat membunuhnya, maka ia harus mengabarkan kepada orang lain sehingga mereka yang akan melakukan pembunuhan itu dan ia dapat merasakan akibat dari amal perbuatannya.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

25/11/1367 (14 Pebruari 1989)

Ruhullah al-Musawi al-Khomeini

Pendahuluan

Tanpa terasa, fatwa hukuman mati Salman Rushdi yang dikeluarkan oleh Imam Khomeini telah berumur 18 tahun. Pada masa dikeluarkannya fatwa tersebut tidak ada yang membayangkan Imam Khomeini akan menyikapi buku Ayat-ayat Setan sekeras itu. Karena pada waktu itu, Iran baru saja menerima resolusi PBB nomor 598 yang berarti gencatan senjata dengan Irak. Dengan itu, Iran tentu disibukkan dengan usaha untuk melakukan perdamaian.

Semua lupa akan prinsip-prinsip berpikir Imam Khomeini. Pikirannya melewati batas-batas teritorial Iran dan orang-orang Iran. Imam Khomeini dalam segala urusannya hanya untuk Allah dan agama. Ia senantiasa berusaha untuk itu dan tidak pernah menunjukkan keletihan dalam masalah ini. Ketika Imam Khomeini mengetahui isi buku Ayat-ayat setan, ia langsung menciap kebatilan buku ini. Ada rencana di balik penerbitan buku itu. Itulah yang membuat beliau mengeluarkan fatwa bersejarahnya.

Lebih jauh tentang Salman Rushdi
Salman Rushdi lahir di kota Devanegari, Bombai India pada tanggal 19 Juni 1947. Setelah Pakistan berdiri sendiri, ia bersama keluarganya pindah ke Karachi dan setelah itu berimigrasi ke Inggris. Ia ke Inggris ketika berumur 13 tahun dan menyelesaikan sekolahnya di sana. Setelah menyelesaikan kuliahnya di jurusan sejarah di universitas Cambridge, ia kembali ke Pakistan. Dengan menulis artikel selama di Inggris, ia dapat membayar sebagian biaya sekolahnya sendiri. Akhirnya ia pindah warga negara Inggris.

Tujuh tahun setelah menulis artikel ia akhirnya berhasil menulis novel berjudul Midnight’s Children tahun 1981. Dengan buku itu ia mendapat hadiah sastra Inggris Booker Prize. Buku ini isinya mengkritik perlawanan rakyat India untuk merdeka dari tangan Inggris. Sekitar setengah juta naskah terjual. Pada tahun 1983 ia menulis buku Shame tentang kondisi Pakistan. Buku The Jaguar Smile: A Nicaraguan Journey 1987 adalah hasil dari perjalanan 3 minggunya ke Nikaragua.

Gaya penulisannya adalah Realisme, namun dengan mengubah semua tokoh asli begitu juga tempat kejadian. Gaya penulisannya tidak mengikuti pakem yang ada selama ini. Dengan ini ia sesuka hati ia menulis apa saja dan menisbatkannya kepada siapa saja yang disukainya. Bukunya yang paling menyedot perhatian adalah The Satanic Verses yang dikenal dengan nama Ayat-ayat Setan. Buku ini ditulisnya pada tahun 1988.

Latar belakang penulisan buku Ayat-ayat Setan
Menganalisa cara berpikir Salman Rushdi dapat lacak dari keluarganya. Ibunya adalah seorang penari bernama Vanita. Pada masa remajanya ia disukai oleh seorang pemuda bernama Raju. Vanita beberapa kali lewat Salim Khan, gubernur Bombai, melakukan penghinaan terhadap masjid. Pernah ia meletakkan kepala babi di undak-undakan masjid kemudian lari menyembunyikan dirinya. Ia juga pernah membakar upacara orang-orang Hindu dan menyebarkan bahwa itu dilakukan oleh kaum muslimin. Setiap kali ia melakukan penghinaan, ia mendapat bayaran dari Salim Khan.

Rupanya Salim Khan juga tertarik dengan Vanita dan hendak mempersuntingnya. Sebagai jawabannya ia menjawab: “Aku menikah karena uang dan kalau engkau punya uang aku menjadi milikmu”. Setelah setuju, ia akhirnya menikah dan dibawa ke istana. Ia menghabiskan malamnya di istana Lord William dan sejak malam itu, ia tidak keluar-keluar dari istana.

Ketika Lord William dipanggil untuk kembali ke Inggris, ia berkata kepada Vanita: “Aku punya istri di Inggris dan ayahnya punya pengaruh kuat di sana. Aku tidak dapat membawamu ke sana”. Lord William pergi. Vanita kembali ke pelukan Raju yang masih menantinya. Setelah Vanita melahirkan anaknya ia meninggal. Raju membawa anak itu dan meninggalkannya di masjid. Seorang bernama Safdar menemukan bayi tersebut dan membawanya pulang ke rumahnya. Ia kemudian memberinya nama Salman. Ia besar di keluarga muslim.

Semenjak kecilnya ia terkenal nakal. Pada umur tiga belas tahun ia sudah tiga belas kali ditahan polisi. Pada masa itu, istri Lord William meninggal. Karena tidak punya anak dari istrinya, ia kemudian mengingat Vanita dan anaknya. Ia mengirim surat kepada Salim Khan untuk menemukan anaknya. Lewat Raju, Lord William menemukan Salman. Ketika tahu bahwa dia adalah anak dari seorang perwira inggris, ia sangat senang. Ia kembali ke rumah. Di rumah ia menemukan ibu angkatnya tengah menunaikan salat. Ketika sujud, ia menginjak kepala ibu angkatnya sehingga kepalanya terluka. Ia keluar dari rumah dan kemudian berangkat ke Inggris.

Ia kemudian di masukkan asrama melanjutkan sekolahnya di Inggris. Di sana ia berkenalan dengan Umar anak Mesir. Mereka kemudian menjalin percintaan dan sepakat untuk menikah. Mereka akhirnya membuka ajaran-ajaran agama yang memperbolehkan perkawinan sesama jenis. Mereka tidak menemukan ajaran yang memperbolehkan. Ketika Madame Rosa ibu asrama mengetahui gelagat ini, ia menyurati ayah Umar yang berpangkat jenderal. Ayahnya datang untuk membawa anaknya pulang ke Mesir. Umar yang begitu cinta kepada Salman akhirnya membakar dirinya. Setelah Umar meninggal, Salman sangat terpukul dan memutuskan untuk membalaskan dendamnya terhadap agama-agama.

Ayat-ayat Setan
Salman Rushdi menulis banyak buku. Bila jeli melihat karangan-karangannya, kebanyakan isinya menghina agama dan keyakinan masyarakat setempat. Dalam bukunya Grimus (1975), secara terang-terangan ia menghina keyakinan orang-orang India. Buku Shame (1983) ditulisnya juga dengan isi yang sama.

Midnight’s Children (1981) ditulis mengkritik perjuangan rakyat India untuk mendapatkan kemerdekaannya dari Inggris. Bukunya The Jaguar Smile: A Nicaraguan Journey (1987) terkait dengan situasi politik di Nikaragua dan keyakinan masyarakatnya.

Puncak penghinaannya terhadap agama dengan menulis novelnya yang berjudul The Satanic Verses (1988). Ia menulis buku ini pada usia 47 tahun. Sebelum ia menulis buku ini, ia ikut hadir dalam sebuah pertemuan yang bermaksud untuk menghancurkan agama tidak lagi dengan senjata, tapi dengan tulisan. Tujuan itu terealisasikan dengan diterbitkannya buku ini.

Untuk pertama kalinya ketika dicetak dalam 547 halaman. Buku ini dicetak oleh penerbit Viking anggota jaringan penerbit Penguin. Salman Rushdi menulis buku ini karena pesanan pimpinan Viking, seorang Yahudi, dengan bayaran gila-gilaan 850 ribu pound.

Buku Ayat-ayat Setan bukanlah buku ilmiah, melainkan hanya sekedar fantasi penulis. Sekalipun demikian, penghinaannya terhadap keyakinan yang disucikan oleh kaum muslimin tidak dapat dibiarkan begitu saja.

Untungnya, Imam Khomeini cepat tanggap rencana besar dibalik penerbitan buku ini. Beliau kemudian mengeluarkan fatwa hukuman mati yang bersejarah. Fatwa ini membuat skenario besar itu prematur. Umat Islam tersadar dan ini membuat Barat lebih berhati-hati. Inggris sebagai pembela nomor satu Salman Rushdi mencoba menekan Iran dengan ancaman ekonomi dan politik agar Imam Khomeini menarik kembali fatwanya. Tidak cukup itu saja, dengan menggerakkan 12 negara lainnya mereka kemudian memburukkan citra Iran dan Imam Khomeini.

Di balik tekanan dari negara-negara Barat, keteguhan Imam Khomeini membuat mereka lelah dan kemudian pasif menerima. Di sisi lain, ini seperti meniupkan semangat baru ke dalam dunia Islam. Penerbit buku Ayat-ayat Setan, Viking, langsung mengeluarkan pernyataan: “Penerbit dan penulis tidak punya maksud menyakiti kaum muslimin. Kami sangat menyesal dengan kejadian ini. Penerbitan buku Ayat-ayat Setan dilakukan karena ditulis oleh seorang penulis top dan isinya fiktif. Penerbitannya karena menghormati kebebasan berekspresi. Salah satu prinsip demokrasi”.

Salman Rushdi sendiri dalam wawancaranya dengan CBS mengatakan:

“Buku ini punya dua khayalan yang coba saya hubungkan dengan munculnya sebuah agama yang mirip dengan Islam. Tapi ini sebuah Islam khayalan. Tokoh yang berkhayal dalam buku itu, pada intinya akalnya telah hilang, gila. Bila seorang berkhayal semacam ini, sangat aneh bila tulisan ini dianggap menghina Islam. Sama sekali saya tidak berniat itu”.

Sempat muncul bisik-bisik di Iran, bahwa bila Salman Rushdi bertobat, mungkin saja tobatnya diterima. Namun, hal ini ditolak oleh kantor Imam Khomeini. Bahkan disebutkan seandainya Salman Rushdi kemudian menjadi orang paling zuhud di muka bumi pun, membunuhnya adalah wajib.

Hukuman mati telah dihapus?
Imam Khomeini pada tahun itu juga, 1987, berbicara di hadapan para rohaniwan:

“Masalah buku Ayat-ayat Setan adalah rencana yang telah disiapkan dengan baik untuk menghancurkan akar ajaran Islam dan keberagamaan umat Islam. Puncak dari semua itu adalah Islam dan rohaniwan”.

Ketika fatwa Imam Khomeini tidak lagi diulang-ulangi, Barat mulai berani mengeluarkan isu bahwa fatwa Imam telah ditarik kembali. Isu ini dimunculkan tidak hanya sekali, tetapi dimuat berulang-ulang. Ayatullah sayyid Ali Khamene’i bereaksi dengan keras.

Pada musim haji dua tahun lalu beliau mengeluarkan pernyataan:

“Hukuman mati yang dikeluarkan oleh Imam Khomeini terhadap Salman Rushdi berlandaskan ayat-ayat al-Quran. Sebagaimana ayat-ayat lain yang kokoh dan tidak dapat dihapus, hukum ini tetap dan tidak dapat dihapus”.

Penutup
Penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw tidak pernah berhenti di Barat. Benar, Imam Khomeini pernah mengeluarkan fatwa hukuman mati atas Salman Rushdi. Namun, penghinaan terhadap Nabi Islam, Muhammad saw tidak pernah selesai. Permusuhan Barat terhadap Islam masih tetap berlangsung. Pemuatan karikatur yang menghina Nabi Muhammad saw di Denmark masih satu jalur dengan Ayat-ayat Setan Salman Rushdi. Sekalipun didemo di mana-mana, masih saja di sebagian negara-negara seperti Inggris, Azerbaijan dan terakhir Prancis yang proses pengadilannya tengah berlangsung, melakukan penghinaan.

Masihkah Barat tidak ingin mengambil pelajaran dari fatwa ulama Islam seperti Imam Khomeini? Bila ditanya, mengapa kalian melindungi dan membiarkan orang-orang menghina keyakinan orang lain? Jawabannya adalah kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi yang selalu dijajakan untuk menghina keyakinan orang lain. Pertanyaannya, adakah kebebasan yang memperbolehkan menghina keyakinan orang lain?.[]

Penulis: Pimred Islam Alternatif

Qom, 24 Pebruari 2007

Selasa, 16 Desember 2008

Menyoal Kejujuran Yusuf Qardhawi


Oleh: Saleh Lapadi Statemen Ayatullah Sayyid Ali Sistani tidak pernah digubris. Ayatullah Sayyid Ali Sistani mengutuk pembunuhan masyarakat sipil di Irak. Ayatullah Sistani, selaku tokoh Syi’ah Irak tidak pernah melemparkan kesalahan dan pemicu ini ke pundak Ahli Sunah Irak. Ayatullah Sistani dalam setiap kesempatan melemparkan penyebab ini kepada Amerika dan Inggris, sisa-sisa anggota Ba’ts dan kelompok takfir. Hal sama yang ditekankan oleh Ayatullah Sayyid Ali Khamene’i dalam ceramah-ceramahnya. --------------------------------------------------- Yusuf Qardhawi hari Jumat kemarin dalam khotbahnya kembali menekankan agar Iran yang Syi’ah segera mengambil langkah-langkah praktis untuk mencegah pembunuhan orang-orang Sunni di Irak. Qardhawi meyakini bahwa pembunuhan orang-orang Sunni dilakukan oleh orang-orang Syi’ah. Dalam khutbah Jumatnya sebelum melawat ke Indonesia ia sempat menyeru kepada Sayyid Ali Khamene’i agar ikut secara aktif menghentikan pembunuhan terhadap orang-orang Sunni oleh Syi’ah. Dalam lawatannya ke Indonesia, masalah ini juga diulang-ulangi dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh Indonesia. Yusuf Qardhawi seakan-akan tidak mau tahu apakah tokoh-tokoh Syi’ah baik Ayatullah Sayyid Ali Sistani di Irak dan Ayatullah Sayyid Ali Khamane’i di Iran pernah berkata apa tentang isu “konflik sektarian”. Qardhawi mengerti benar bahwa kedua tokoh besar Syi’ah berkali-kali memfatwakan keharaman memprovokasi perselisihan Sunni dan Syi’ah. Siapa saja yang melakukan itu berarti ia telah melakukan perbuatan haram dan berdosa. Lebih dari itu, Sayyid Ali Khamene’i mengulangi ucapan Imam Khomeini bahwa siapa saja membuat perselisihan antara Sunni dan Syi’ah bukan seorang Syi’ah dan Sunni. Buat Qardhawi, saat ini ucapan dia diakses secara luar biasa. Hal itu setelah al-Jazirah menyiapkan siaran khususnya yang bernama “as-Syari’ah wa al-Hayah” (syariat dan kehidupan). Mendapat dukungan dari al-Jazirah membuat namanya semakin melambung. Beberapa komentar-komentarnya memang menyejukkan. Ia termasuk salah satu ulama Ahli Sunah yang membela Palestina. Ia juga dikenal sebagai ulama yang berusaha mendekatkan Sunni dan Syi’ah. Ketika Israel menyerang Hizbullah, di mana ulama Wahabi termasuk tidak setuju dan menganggap perjuangan Hizbullah tidak termasuk jihad Islam, Qardhawi membela Hizbullah. Semua ini berubah ketika Saddam dihukum gantung. Karena ketidaksetujuannya atas hukuman mati Saddam yang dilakukan pada hari Idul Qurban. Semenjak itu, dalam menyikapi “konflik sektarian” di Irak, Qardhawi tidak lagi terlihat obyektif melihat masalah. Statemen Ayatullah Sayyid Ali Sistani tidak pernah digubris. Ayatullah Sayyid Ali Sistani mengutuk pembunuhan masyarakat sipil di Irak. Ayatullah Sistani, selaku tokoh Syi’ah Irak tidak pernah melemparkan kesalahan dan pemicu ini ke pundak Ahli Sunah Irak. Ayatullah Sistani dalam setiap kesempatan melemparkan penyebab ini kepada Amerika dan Inggris, sisa-sisa anggota Ba’ts dan kelompok takfir. Hal sama yang ditekankan oleh Ayatullah Sayyid Ali Khamene’i dalam ceramah-ceramahnya. Di sini, hubungan Qardhawi dan al-Jazirah, perlu mendapat perhatian lebih. Apakah Qardhawi yang merasa mendapat dukungan al-Jazirah sehingga tidak mau lagi melihat kenyataan ataukah sebaliknya? Pendapat pertama kelihatannya lebih sulit untuk diterima. Dengan sedikit melihat latar belakang Qardhawi, sebagaimana sebagiannya telah disebutkan di muka, kemungkinan itu kelihatannya kecil sekali. Apa lagi, sebagai media internasional dan profesional, al-Jazirah tidak bakal mau dipakai sebagai alat. Sebisa mungkin ia mencari subyek tertentu untuk menaikkan rating dan jumlah pemirsanya. Dan sudah umum di dunia media, bila seorang tokoh, karena satu dan lain hal, tersandung sebuah kasus yang dapat mengancam citranya, maka tokoh itu pun akan dijauhi. Dan untuk sementara Qardhawi masih sesuai dengan misi mereka. Kemungkinan kedua lebih bisa diterima. Secara terstruktur dan sistematis, al-Jazirah mampu menguasai Qardhawi. Kebencian al-Jazirah dapat terbaca dengan jelas. Setelah hukuman mati Saddam mereka mengambil gambar di sebuah kota kecil di Mesir dan menyebutkan bahwa seluruh Mesir melakukan upacara berkabung. Al-Jazirah tidak pernah menayangkan dan memberitakan berapa banyak orang-orang Syi’ah Irak yang terbunuh. Sekitar 70 persen orang yang mati, dari orang Syi’ah akibat teror yang dilakukan selama ini. Pemboman Samarra, Kazhimain, Najaf, Karbala dan kawasan-kawasan yang dihuni oleh orang-orang Syi’ah dan korbannya juga dari orang-orang Syi’ah. Yusuf Qardhawi tidak mau tahu bahwa pada saat yang sama, ketika ia menyampaikan khutbah Jumatnya di Doha, sebuah masjid orang-orang Syi’ah diledakkan oleh orang yang mengatakan melakukan bom bunuh diri karena melakukan jihad. Ledakkan itu mengakibatkan puluhan orang mati dan luka-luka. Yusuf Qardhawi seakan-akan lupa bahwa ada kelompok takfir yang juga ikut ambil bagian dalam “konflik sektarian” ini? Kelompok yang tidak hanya mengafirkan Syi’ah, tapi juga Ahli Sunah. Mereka tidak pernah memilih-milih korbannya kecuali berdasarkan kepentingan. Kelompok takfir yang dikenal sebagai Wahabi. Wahabi yang mendapat sokongan dana besar-besaran dari pemerintah Arab Saudi. Mengapa Yusuf Qardhawi tidak melontarkan ucapan yang sama kepada ulama Wahabi? Mengapa Qardhawi tidak mengambil sikap dan meminta kepada mufti-mufti Wahabi untuk menahan diri dan tidak mengafirkan Syi’ah. Mengapa ia tidak meminta kepada mufti besar Arab Saudi agar memerintahkan kepada kelompok takfir yang ikut bermain di Irak untuk tidak melakukan tindakan pembalasan yang sama? Dalam khotbahnya hari Jumat kemarin, Qardhawi menyampaikan bahwa ia akan mengirim utusan ke Iran untuk membicarakan masalah pembunuhan orang-orang Syi’ah terhadap Sunni sekaligus mencarikan solusinya. Usaha yang baik dan patut untuk dihargai. Setidak-tidaknya ia bakal mendapatkan berita tidak secara sepihak. Walaupun terlambat, namun kita dapat berharap banyak, dari sikap yang diambil oleh Qardhawi. Sehingga diharapkan ia tidak hanya mendengar kabar dari al-Jazirah. Masih segar dalam ingatan, al-Jazirah memutar balikkan fakta pembunuhan massal yang terjadi di kota Sadr. Di sana sekitar 220 orang terbunuh dan ratusan lagi luka-luka. Al-Jazirah memberitakan bahwa telah terjadi penyerbuan ke masjid Ahli Sunah. Mengapa tidak ada pemberitaan yang seimbang mengenai korban yang tewas di pihak Syi’ah? Terima atau tidak, al-Jazirah termasuk yang memiliki saham meluasnya “konflik sektarian” di Irak. Keinginan Qardhawi mengirim utusan ke Iran masih menunjukkan keinginan baiknya. Pertanyaannya di sini adalah, mengapa ia tidak mengirimkan utusan juga ke Arab Saudi? Seluruh ulama Syi’ah baik di Iran maupun Irak mengharamkan siapa saja yang ikut berperang atas nama perang Sunni dan Syi’ah. Bila pengiriman utusan ke Iran untuk menasihati ulama Syi’ah, maka pengiriman utusan ke Arab Saudi jauh lebih wajib untuk dilakukan. Bertahun-tahun ulama Wahabi memfatwakan Syi’ah kafir, orang-orang Syi’ah halal darahnya. Apakah fatwa-fatwa ini tiba-tiba terhapus dari ingatan Qardhawi? Mengapa Qardhawi harus jauh-jauh mengirim utusan ke Iran. Berapa kilometer dari tempatnya menyampaikan khutbah Jumat ada pangkalan militer Amerika. Pangkalan ini menjadi pusat logistik bantuan Amerika kepada Israel untuk membom rakyat Sipil Lebanon. Pusat logistik untuk pasukan Amerika di Irak agar dengan mudah mereka membunuh rakyat tidak berdosa Irak. Beranikah Qardhawi dalam siaran khususnya menyampaikan kepada Amir Qatar agar pangkalan militer yang telah membunuh ratusan orang Arab untuk dibekukan? Militer Amerika harus meninggalkan Qatar sebagai negara berdaulat Menasihati orang lain memang mudah. Tapi menasihati diri sendiri adalah sangat sulit. Itulah mengapa sebelum seorang diangkat sebagai Nabi, yang tugasnya menasihat masyarakat, selain tugas lainnya, untuk terlebih dahulu membersihkan dirinya. Karena kebersihan diri terlebih dahulu membuat seorang Nabi bersikap sama dan tidak memihak. Itulah mengapa dengan mudah Nabi Muhammad saw mengatakan bahwa bila Fathimah mencuri niscaya aku potong tangannya. Mungkinkah Qardhawi memotong tangan kelompok takfir di Irak dengan mengirim utusan ke Arab Saudi dan berbicara dengan ulama Wahabi?[] Bapak Yusuf Qardhawi... Mencari aib orang lain memang lebih mudah. Qom, 27 Januari 2007 Penulis: Pimred Islam Alternatif

Sampai Jumpa Jumat di Teuku Umar 68…


let-us-breathe

Menyahuti seruan Sekjen Hezbollah Lebanon, Hasan Nasrullah, kita akan melakukan aksi demo di depan Kedutaan Besar Mesir usai shalat Jumat pukul 13.00 demi memperotes rezim Mobarak yang turut memblokade Gaza dan mengakibatkan kesengsaraan 1 setengah juta warganya.

hungry_angry1

Isu Gaza bukan hanya milik umat Islam tapi milik semua pejuang kebebasan di atas muka bumi dari agama, mazhab dan suku apapaun.

Mari ungkapkan simpati dan solidaritas atas nama kemanusiaan dalam aksi damai yang dilindungi oleh konsitusi negara tercinta Indonesia.

Sampai jumpa di jalan Teuku Umar 68!!!!

Senin, 15 Desember 2008

AS Janjikan Payung Anti Nuklir ke Israel, Arab Saudi dan Sekutunya di Teluk


nuclear-umbrellabush_umbrella5

Gaya AS dalam komunikasi politik luar negeri di bawah presiden terpilih Bareack Obama tidak berubah, bahkan mungkin lebih imprialistik.

Menteri Luar Negeri AS dalam kabinet mendatang Barack Obama, Hillary Clinton, demi melindungi dari apa yang disebutnya dengan “ancaman nuklir Iran”, berjanji akan melengkapi Israel dengan “payung anti nuklir”.

Perempuan yang nyaris depresi karena suaminya, Bill Clinton, berselingkuh dengan Monica Lewinsky, ini juga menjajikan fasilitas yang sama kepada sekutunya di Teluk terutama Arab Saudi demi melindunginya.

Aljazeera yang menurunkan berita ini tidak menjelaskan respon Arab Saudi atas tawaran ini.

Selasa, 09 Desember 2008

Israel Cegah Bantuan Idul Adha ke Gaza




Pasukan keamanan Israel kembali melarang sebuah kapal yang akan bertolak ke jalur Gaza membawa bantuan kemanusiaan. Kali ini kapal yang tengah bersandar di pelabuhan Jaffa, dilarang melanjutkan perjalanan. “Kami sedang bersiap-siap untuk menuju Jalur Gaza untuk menyerahkan ratusan kilogram obat-obatan dan barang-barang kebutuhan pokok, tetapi polisi maritim mencegah kami membongkar jangkar kapal kami,” kata anggota parlemen Arab Israel, Ahmed Tibi, Minggu (7/12). Juru bicara polisi Israel, Micky Rosenfeld, mengonfirmasikan bahwa kapal itu dilarang meninggalkan pelabuhan tersebut.
Para anggota parlemen Arab Israel lainnya, termasuk Taleb al Sana dan Mohammed Barakah, juga berada di kapal itu bersama dengan para aktivis perdamaian dari kelompok sayap kiri Yahudi. Tiga warga Israel dari Galilee yang membawa satu truk pangan dan obat-obatan ke pelabuhan itu untuk dinaikkan ke dalam kapal ditahan untuk diperiksa. Israel memberlakukan satu blokade yang menyengsarakan terhadap Jalur Gaza sejak kelompok Hamas menguasai Jalur Gaza, Juni tahun lalu. Israel memperketat blokade itu sejak meletusnya aksi kekerasan lintas perbatasan 4 November. Pekan lalu, kapal-kapal perang Israel melarang sebuah kapal barang Libya yang membawa 3.000 ton barang-barang mencapai Gaza. (Kompas dari Antara)

Selasa, 02 Desember 2008

Gaza Diblokade, Syekh Al-Azhar Berjabat Tangan dengan Shimon Peres

syekhazhar-peres

Meski telah meminta maaf secara implisit’ atas tindakan berjabat tangan dengan Shimon Perez, rakyat Mesir tetap menginginkan pengunduran diri Syekh Al-Azhar dari jabatannya.

Berdasarkan laporan dari kantor berita ‘Qudsuna’, sekelompok rakyat dari berbagai anggota partai dan wakil parlemen Mesir mengecam sikap pemimpin Perguruan Tinggi Islam terbesar tersebut dan menuntut pencopotannya.

Sekaitan dengan hal ini, faksi Ikhwan al-Muslimin dalam parlemen Mesir, seraya mengecam kehadiran Syekh Al-Azhar dalam konferensi ‘Dialog Agama’ di New York, mendukung tuntutan pemecatannya.

Kelompok Ikhwan al-Muslimin dalam kritiknya, menegaskan bahwa “Tantowi menjabat tangan Simon Perez saat rakyat Gaza menderita akibat blokade rezim Zionis.

Lebih buruk lagi, adegan jabat tangan yang disertai aksi berbagi senyum ini mengundang kekecawaan dan kebencian rakyat Mesir.

Yang lebih parah lagi, sambil mengakui secara implisit kesalahannya, Tantowi mengatakan bahwa ia belum mengenal Peres dan jabat tangan itu terjadi secara kebetulan.

Seraya memberikan pembenaran atas sikapnya, ia menambahkan bahwa dalam a di sela-sela konferensi “Dialog antar Agama” di New York, ia melakukan jabat tangan dengan lebih dari 20 peserta dengan niat baik, termasuk Shimon Peres, Prseiden Rezim Zionis.

Dengan berbagai protes yang berkembang di tenga umat Islam atas sikapnya, Tantowi membantah adanya rumor santer yang menyebutkan bahwa ia dan Simon Peres menandatangani sebuah kesepakatan. (kayhan)

Senin, 24 November 2008

Mutiara Hikmah dari Rasulullah saw



“Wahai hamba Allah, kalian seperti pasien yang sedang menderita sakit,
dan Tuhan kalian seperti dokternya. Kesembuhan sang pasien tergantung
pada apa yang diketahui dan diatur oleh dokternya. Bukan tergantung
pada apa yang diinginkan dan diusulkan oleh sang pasien. Karena
serahkan urusan kalian kepada Allah, niscaya kalian tergolong pada
orang-orang yang beruntung.” (Majmu’ah warâm 2: 117)

“Barangsiapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia
bukan dari golongan mereka. Barangsiapa yang mendengar panggilan
saudaranya yang meminta bantuan lalu ia tidak menolongnya, maka ia
bukan seorang muslim.” (Biharul Anwâr 74: 339)

Pada hari kiamat akan terdengar suara panggilan: Dimanakah orang-orang
yang zalim dan para pendukungnya? Barangsiapa yang membantu mereka
walaupun dengan setetes tinta atau sekedar mengikatkan tali kantong
mereka, atau meminjamkan penanya kepada mereka, niscaya mereka akan
digiring dan dikumpulkan bersama orangorang yang zalim itu. (Bihârul
Anwâr 75: 372)

Akan datang suatu zaman kepada umatku: Mereka tidak mengenal ulama
kecuali dengan pakaian yang bagus, mereka tidak mengenal Al-Qur’an
kecuali dengan keindahan suaranya, mereka tidak beribadah kepada Allah
kecuali hanya di bulan puasa. Jika hal itu telah terjadi, Allah akan
menjadikan bagi mereka pemimpin yang bodoh, yang tidak mengenal belas-
kasih dan tidak memiliki rasa kasih sayang. (Bihârul Anwâr 22: 454)

Spiritual dan Rahasia Haji: Dalam dialog seorang sufi besar dengan Keluarga Nabi saw

Dialog ini terjadi antara Imam Ali Zainal Abidin (sa) dengan Asy-
Syibli. Asy-Syibli adalah seorang ulama sufi besar dan terkenal hingga
sekarang, khususnya di kalangan para sufi. Imam Ali Zainal Abidin (sa)
adalah putera Al-Husein cucu Rasulullah saw. Dialog ini saya
terjemahkan dari kitab Al-Mustadrak. Berikut ini dialognya:

Saat pulang ke Madinah usai menunaikan ibadah haji, Asy-Syibli datang
kepada gurunya Ali Zainal Abidin (ra) untuk menyampaikan pengalamannya
selama menunaikan ibadah haji. Dalam pertemuan itu terjadilah dialog
antara seorang guru dengan muridnya.

Ali Zainal Abidin (sa): Wahai Syibli, Anda sudah menunaikan ibadah
haji?
Asy-Syibli: Ya, sudah yabna Rasulillah (wahai putra Rasulillah)
Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda sudah berhenti miqat, kemudian
menanggalkan semua pakaian terjahit yang dilarang bagi orang yang
menunaikan ibadah haji, kemudian Anda mandi sunnah untuk memakai baju
ihram?
Asy-Syibli: Ya, semua sudah saya lakukan.

Ali Zainal Abidin (sa): Apakah ketika berhenti di miqat Anda
menguatkan niat, dan menanggalkan semua pakaian maksiat kemudian
menggantinya dengan pakaian ketaatan?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Pada saat Anda menanggalkan pakaian yang
terlarang itu apakah Anda sudah menghilangkan perasaan riya', munafik,
dan semua subhat (yang diragukan hukumnya).
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika Anda mandi sunnah dan membersihkan diri
sebelum memakai pakaian ihram, apakah Anda juga berniat membersihkan
diri dari segala macam noda-noda dosa?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Jika demikian, Anda belum berhenti miqat,
belum menanggalkan pakaian yang yang terjahit, dan belum mandi
membersihkan diri.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika Anda mandi, berihram dan mengucapkan
niat untuk memasuki ibadah haji, apakah Anda sudah menguatkan niat dan
tekad hendak membersihkan diri dan mensusikannya dengan pancaran
cahaya taubat dengan niat yang tulus karena Allah swt?
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Apakah pada saat memakai baju ihram Anda
berniat untuk menjauhkan diri dari segala yang diharamkan oleh Allah
Azza wa Jalla.
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (ra): Apakah ketika berada dalam ibadah haji yang
terikat dengan ketentuan-ketentuan haji, Anda telah melepaskan diri
dari segala ikatan duniawi dan hanya mengikatkan diri dengan Allah
swt?
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Kalau begitu, Anda belum membersihkan diri,
belum berihram, dan belum mengikat diri Anda dalam menunaikan ibadah
haji.
Ali Zainal Abidin (sa): Bukankah Anda telah memasuki miqat, shalat
ihram dua rakaat, kemudian mengucapkan talbiyah?
Asy-Syibli: Ya, semua itu sudah saya lakukan.

Ali Zainal Abidin (sa): Ketika memasuki miqat apakah Anda berniat akan
melakukan ziarah untuk mencari ridha Allah swt?
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Pada saat melaksanakan shalat ihram dua
rakaat, apakah Anda berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt
dengan tekad akan memperbanyak shalat sunnah yang sangat tinggi
nilainya?
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Jika demikian, Anda belum memasuki miqat,
belum mengucapkan talbiyah, dan belum menunaikan shalat ihram dua
rakaat.

Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda telah memasuki Masjidil Haram,
memandang Ka'bah dan melakukan shalat disana?
Asy-Syibli: Ya, semua sudah saya lakukan.

Ali Zainal Abidin (sa): Pada saat memasuki Masjidil Haram, apakah Anda
bertekad untuk mengharamkan diri Anda dari mengunjing orang-orang
islam?
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Ketika sampai di kota Mekkah, apakah Anda
menguatkan keyakinan bahwa hanya Allah-lah tujuan hidup?
Asy-Syibli: Tidak

Ali Zainal Abidin (sa): Jika demikian, Anda belum memasuki Masjidil
Haram, belum memandang Ka'bah, dan belum melakukan shalat di dekat
Ka'bah.
Asy-Syibli:

Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda sudah melakukan thawaf, dan sudah
menyentuh sudut-sudut Ka'bah?
Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukan thawaf.

Ali Zainal Abidin (sa): Ketika thawaf, apakah Anda berniat untuk lari
menuju ridha Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Jika demikian, Anda belum melakukan thawaf,
dan belum menyentuh sudut-sudut Ka'bah.

Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda sudah berjabatan tangan dengan
hajar Aswad, dan melakukan shalat sunnah di dekat Maqam Ibrahim?
Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukannya.

Ali Zainal Abidin (sa): Mendengar jawaban Asy-Syibli, Ali Zainal
Abidin (ra) menangis dan memandangnya seraya berkata:
"Ya sungguh benar, barangsiapa yang berjabatan tangan dengan Hajar
Aswad, ia telah berjabatan tangan dengan Allah. Karena itu, ingatlah
baik-baik wahai manusia, janganlah sekali-kali kalian berbuat sesuatu
yang menghinakan martabatmu, jangan menjatuhkan kehormatanmu dengan
perbuatan durhaka dan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla, jangan
melakukan apa saja yang diharamkan oleh Allah swt sebagaimana yang
dilakukan orang-orang yang bergelimang dosa.

Ali Zainal Abidin (sa): Ketika berdiri di Maqam Ibrahim, apakah Anda
menguatkan tekad untuk berdiri di jalan kebenaran dan ketaatan kepada
Allah swt, dan bertekad untuk meninggalkan semua maksiat?
Asy-Syibli: Tidak, saat itu tekad tersebut belum kusebutkan dalam
niatku.

Ali Zainal Abidin (sa): Ketika melakukan shalat dua rakaat di dekat
Maqam Ibrahim, apakah Anda berniat untuk mengikuti jejak Nabi Ibrahim
(sa), dalam shalat ibadahnya, dan kegigihannya dalam menentang
bisikansetan.
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Kalau begitu, Anda belum berjabatan tangan
dengan Hajar Aswad, belum berdiri di Maqam Ibrahim, dan belum
melakukan shalat di dekat Maqam Ibrahim.

Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda sudah memperhatikan sumur air
Zamzam dan minum airnya?
Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukannya.

Ali Zainal Abidin (sa): Ketika memperhatikan sumur itu, apakah Anda
mencurahkan semua perhatian untuk mematuhi semua perintah Allah. Dan
apakah saat itu Anda berniat untuk memejamkan mata dari segala
kemaksiatan.
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Jika demikian, Anda belum memperhatikan sumur
air Zamzam dan belum minum air Zamzam.

Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda melakukan sa'i antara Shafa dan
Marwa?
Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukannya.

Ali Zainal Abidin (sa): Apakah saat itu Anda mencurahkan semua harapan
untuk memperoleh rahmat Allah, dan bergetar tubuhmu karena takut akan
siksaan-Nya?
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Kalau begitu, Anda belum melakukan sa'i antara
Shafa dan Marwa.

Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda sudah pergi ke Mina?
Asy-Syibli: Ya, tentu sudah.

Ali Zainal Abidin (sa): Apakah saat itu Anda telah sunggu-sungguh
bertekad agar semua manusia aman dari gangguan lidah, hati dan tangan
Anda sendiri?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Kalau begitu, Anda belum pergi ke Mina.

Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda sudah wuquf di padang Arafah?
Sudahkah Anda mendaki Jabal Rahmah? Apakah Anda sudah mengunjungi
lembah Namirah dan berdoa di di bukit-bukit Shakharat?
Asy-Syibli: Ya, semuanya sudah saya lakukan.

Ali Zainal Abidin (sa): Ketika berada di Padang Arafah, apakah Anda
benar-benar menghayati makrifat akan keagungan Allah? Dan apakah Anda
menyadari hakekat ilmu yang dapat mengantarkan diri Anda kepada-Nya?
Apakah saat itu Anda menyadari dengan sesungguhnya bahwa Allah Maha
Mengetahui segala perbuatan, perasaan dan suara nurani?
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Ketika mendaki Jabal Rahmah, apakah Anda tulus
ikhlas mengharapkan rahmat Allah untuk setiap mukmin, dan mengharapkan
bimbingan untuk setiap muslim?
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Ketika berada di lembah Namirah apakah Anda
punya tekad untuk tidak menyuruh orang lain berbuat baik sebelum
terlebih dahulu Anda menyuruh diri Anda berbuat baik? Apakah Anda
bertekad tidak melarang orang lain berbuat maksiat sebelum Anda
mencegah diri Anda dari perbuatan tersebut?
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Ketika Anda berada di bukit-bukit itu, apakah
Anda benar-benar menyadari bahwa tempat itu merupakan saksi atas
segala kepatuhan kepada Allah swt. Dan Tahukah Anda bahwa bukit-bukit
itu bersama para malaikat mencatatnya atas perintah Allah Penguasa
tujuh langit dan bumi?
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Kalau begitu Anda belum berwuquf di Arafah,
belum mendaki Jabal Rahmah, belum mengunjungi lembah Namirah dan belum
berdoa di tempat-tempat itu.

Ali Zainal Abidin (sa): Apakah Anda melewati dua bukit Al-Alamain dan
menunaikan shalat dua rakaat sebelumnya? Apakah setelah itu Anda
melanjutkan perjalanan menuju Muzdalifah, mengambil batu di sana,
kemudian berjalan melewati Masy'aril Haram?
Asy-Syibli: Ya, semuanya sudah saya lakukan.

Ali Zainal Abidin (sa): Ketika Anda melakukan shalat dua rakaat,
apakah Anda meniatkan shalat itu sebagai shalat Syukur, shalat untuk
menyampaikan rasa terima kasih pada malam tanggal 10 Dzulhijjah,
dengan harapan agar tersingkir dari semua kesulitan dan mendapat
kemudahan?
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Ketika melewati dua bukit itu dengan
meluruskan pandangan, tidak menoleh ke kanan dan ke kiri, apakah Anda
benar-benar bertekad tidak akan berpaling pada agama lain, tetap teguh
dalam agama Islam, agama yang hak yang diridhai oleh Allah swt?
Benarkah Anda memperkuat tekad untuk tidak bergeser sedikitpun, baik
dalam hati, ucapan, gerakan maupun perbuatan?
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Ketika berada di Muzdalifah dan mengambil batu
di sana, apakah Anda benar-benar bertekah untuk melempar jauh-jauh
segala perbuatan maksiat dari diri Anda, dan berniat untuk mengejar
ilmu dan amal yang diridhai oleh Allah swt?
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Pada saat Anda melewati Masy'aril Haram,
apakah Anda bertekad untuk menjadikan diri Anda sebagai keteladan
kesucian agama Islam seperti orang-orang yang bertakwa kepada Allah
swt?
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Kalau begitu, Anda belum melewati Al-Alamain,
belum melakukan shalat dua rakaat, belum berjalan menuju Muzdalifah,
belum mengambil batu di tempat itu, dan belum melewati Masy'aril
Haram.

Ali Zainal Abidin (sa): Wahai Syibli, apakah Anda telah sampai di
Mina, telah melempar Jumrah, telah mencukur rambut, telah menyembelih
binatang kurban, telah menunaikan shalat di masjid Khaif; kemudian
kembali ke Mekkah dan melakukan thawaf ifadhah?
Asy-Syibli: Ya, saya sudah melakukannya.

Ali Zainal Abidin (ra): Setelah tiba di Mina, apakah Anda menyadari
bahwa Anda telah sampai pada tujuan, dan bahwa Allah telah memenuhi
semua hajat Anda?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Pada saat melempar Jumrah, apakah Anda
bertekad untuk melempar musuh Anda yang sebenarnya yaitu iblis dan
memeranginya dengan cara menyempurnakan ibadah haji yang mulia itu?
Asy-Syibli: Tidak

Ali Zainal Abidin (sa): Ketika Anda mencukur rambut, apakah Anda
bertekad untuk mencukur semua kehinaan diri Anda sehingga diri Anda
menjadi suci seperti baru lahir perut ibu Anda?
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika melakukan shalat di masjid Khaif,
apakah Anda benar-benar bertekad untuk tidak merasa takut kepada
siapaun kecuali kepada Allah swt dan dosa-dosa yang telah Anda
lakukan.
Asy-Syibli: Tidak.
Ali Zainal Abidin (sa): Ketika Anda menyembelih binatang kurban,
apakah Anda bertekad untuk memotong belenggu kerakusan diri Anda dan
menghayati kehidupan yang suci dari segala noda dan dosa? Dan apakah
Anda juga bertekad untuk mengikuti jejak nabi Ibrahim (sa) yang rela
melaksanakan perintah Allah sekalipun harus memotong leher puteranya
yang dicintai?
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Ketika Anda kembali ke Mekkah untuk melakukan
thawaf ifadhah, apakah Anda berniat untuk tidak mengharapkan pemberian
dari siapapun kecuali dari karunia Allah, tetap patuh kepada-Nya,
mencintai-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan selalu mendekatkan diri
kepada-Nya?
Asy-Syibli: Tidak.

Ali Zainal Abidin (sa): Jika demikian, Anda belum mencapai Mina, belum
melempar Jumrah, belum mencukur rambut, belum menyembelih kurban,
belum melaksanakan manasik, belum melaksanakan shalat di masjid Khaif,
belum melakukan thawaf ifadhah, dan belum mendekatkan diri kepada
Allah swt. Karena itu, kembalilah ke Mekkah, sebab Anda sesungguhnya
belum menunaikan ibadah haji.

Mendengar penjelasan Ali Zainal Abidin (sa), Asy-Syibli menangis dan
menyesali kekurangannya yang telah dilakukan dalam ibadah haji. Sejak
itu ia berusaha keras memperdalam ilmu Islam agar pada tahun
berikutnya ia dapat menunaikan ibadah haji secara sempurna. (Al-
Mustadrak 10: 166)

Senin, 27 Oktober 2008

Daftar “Most Wanted”

Berikut ini adalah tulisan Noam Chomsky, filosof dan pemikir kontemporer Amerika, yang membongkar istilah “most wanted list” bagipara teroris dari dua pandangan berbeda: pandangan “dunia” [dengan tanda kutip” dan dunia [tanpa tanda kutip].

Pada 13 Februari, Imad Mughniyah, komandan senior Hizbullah dibunuh di Damaskus. “Dunia akan menjadi lebih baik tanpa orang seperti dia di dalamnya,” Jurubicara Kementerian Luar Negeri [AS] Sean McCormack berkata, “Bagaimanapun caranya, dia telah dihadapkan ke pengadilan.” Direktur Intelijen Nasional [AS] Mike McConnel menambahkan bahwa Mughniyah, “bertanggung jawab atas kematian orang Amerika dan Israel lebih daripada teroris lainnya, terkecuali Osama bin Laden.”

Perasaan senang tak tertahankan lagi dari Israel. “Salah satu dari orang ‘yang paling dicari’ oleh AS dan Israel telah dihadapkan ke pengadilan,” demikian dilaporkan The London Financial Times. Di bawah judul headline, “A militant wanted the world over”, berita yang menyertainya melaporkan dia [Mughniyah] hanya dilampaui dalam daftar “yang paling dicari” oleh Osama bin Laden setelah 9/11 dan dengan demikian menduduki urutan kedua di antara “para militan yang paling dicari di dunia”.

Terminologi tersebut [“yang paling dicari di dunia”] cukup akurat menurut aturan diskursus Anglo-Amerika, yang mendefinisikan “dunia” sebagai kelas politik di Washington dan London (dan siapa pun yang sepakat dengan mereka dalam hal-hal tertentu). Adalah umum, misalnya, untuk membaca “dunia” sepenuhnya mendukung George W. Bush ketika dia memerintahkan pemboman Afghanistan. Mungkin benar bahwa itu “dunia” tetapi pasti bukan dunia [tanpa tanda kutip] yang ditampakkan dalam sebuah jajak pendapat internasional Gallup Poll setelah pemboman itu diumumkan. Dukungan global sangat kecil. Di Amerika Latin, yang mempunyai pengalaman dengan perilaku AS, dukungan hanya berkisar dari 2% di Meksiko hingga 16% di Panama. Terdapat sebuah preferensi yang besar di dunia ini bagi standar-standar penilaian, yang ditolak begitu saja oleh “sang dunia” .

Mengamati Pengadilan atas Teror

Dalam kasus-kasus kontemporer, jika “dunia” diperluas menjadi dunia, maka kita akan menemukan beberapa kandidat lain untuk menempati posisi terhormat sebagai kriminal-kriminal yang paling dibenci. Adalah informatif untuk bertanya mengapa hal ini mungkin benar adanya.

The Financial Times melaporkan bahwa sebagian besar tuduhan atas Mughniyah tidak bisa dibuktikan, tetapi “salah satu dari sedikit kesempatan ketika keterlibatannya dapat ditemukan dengan kepastian (adalah dalam) pembajakan sebuah pesawat TWA pada 1985, yang dalam peristiwa itu seorang penyelam AL AS dibunuh.” Ini adalah salah satu dari dua peristiwa terorisme yang memimpin jajak pendapat dari para editor suratkabar untuk memilih insiden terorisme Timur Tengah yang menjadi berita utama pada 1985; yang lainnya adalah pembajakan kapal feri Archille Lauro, yang di dalamnya seorang disable Amerika, Leon Klinghoffer, dibunuh secara brutal. Itu merefleksikan penilaian “dunia”. Adalah mungkin bahwa dunia melihat persoalan-persoalan sedikit berbeda.

Pembajakan Archille Lauro adalah pembalasan atas pemboman atas Tunis yang diperintahkan satu minggu sebelumnya oleh Perdana Menteri Israel Shimon Peres. Di antara aksi-aksi brutal yang lain, angkatan udara Israel [dalam peristiwa Tunis] membunuh 75 orang Tunisia dan Palestina dengan bom-bom pintar yang merobek-robek tubuh-tubuh mereka menjadi potongan-potongan, demikian sebagaimana dilaporkan secara jelas dari lapangan oleh jurnalis ternama Israel, Amnon Kapeliouk. Washington ikut terlibat karena gagal memperingatkan sekutunya Tunisia bahwa pesawat-pesawat pembom sedang menuju ke sana, meskipun Armada Keenam dan Intelijen Amerika mustahil tidak menyadari potensi serangan itu. Menteri Luar Negeri George Shultz menginformasikan Menlu Israel Yitzhak Shamir bahwa Washington “sangat bersimpati kepada aksi Israel itu,” yang dia istilahkan dengan “sebuah respon yang sah” terhadap “serangan-serangan teroris,” mengarah kepada persetujuan yang umum. Beberapa hari selanjutnya, Dewan Keamanan PBB secara bulat mengecam aksi pemboman itu sebagai “tindakan agresi bersenjata” (dengan AS yang abstain). Tentu saja, “agresi” adalah sebuah kejahatan yang jauh lebih serius ketimbang terorisme internasional. Namun dengan sedikit beprasangka baik kepada AS dan Israel, mari kita memusatkan perhatian kepada tuduhan-tuduhan yang lebih kecil terhadap kepemimpinan mereka.

Beberapa hari setelahnya, Peres pergi ke Washington untuk berkonsultasi dengan pemimpin teroris pada masa itu, Ronald Reagan, yang mengecam “dampak buruk terorisme,” lagi-lagi dengan persetujuan umum dari “dunia”.

“Serangan-serangan teroris” yang Shultz dan Peres tawarkan sebagai dalih bagi pemboman atas Tunis adalah pembunuhan tiga orang Israel di Larnaca, Siprus. Para pembunuhnya, sebagaimana diakui Israel, tidak ada kaitannya dengan Tunis, meskipun mereka mungkin memiliki koneksi-koneksi dengan orang Suriah. Namun demikian, Tunis adalah sebuah sasaran yang lebih disukai. Kota itu sangat rapuh keamanannya dibandingkan Damaskus. Dan di sana ada kesenangan ekstra: ada lebih banyak pengungsi Palestina yang bisa dibunuh.

Pembunuhan di Larnaca, salah satunya, dijadikan sebagai aksi pembalasan oleh para pelaku [perlawanan terhadap Israel]: semuanya merupakan respon terhadap pembajakan-pembajakan reguler Israel di wilayah perairan internasional, dimana banyak korbannya dibunuh—dan sebagiannya diculik serta dimasukkan ke dalam penjara-penjara di Israel, umumnya ditahan dalam periode yang lama tanpa dakwaan. Salah satu penjara yang terkenal adalah ruangan penyiksaan Fasilitas 1391. Laporan detail mengenai fasilitas rahasia ini dapat dipelajari dari pers Israel dan asing. Kejahatan-kejahatan reguler Israel semacam itu, tentu saja, umum diketahui oleh para editor pers nasional di AS, dan kadang disebutkan secara dingin.

Pembunuhan terhadap Klinghoffer secara akurat digambarkan dengan kengerian, dan sangat populer. Ia adalah topik dari sebuah opera yang disanjung-sanjung dan dijadikan film televisi, dan tentu saja disertai berbagai komentar mengerikan tentang barbaritas orang Palestina: “moster berkaki dua” (Menachem Begin); “para kecoa beracun yang bergerombol dalam sebuah botol” (Kepala Staf Raful Eitan); “seperti belalang-belalang jika dibandingkan dengan kita,” yang kepalanya “harus dibenturkan kepada batu dan dinding” (Yitzhak Shamir). Atau yang lebih umum, “Araboushim”, padanan slang untuk “kike” atau “nigger”.

Dengan demikian, setelah praktik teror militer para pemukim [Yahudi] dan perlakuan tidak senonoh, yang dilakukan dengan penuh maksud, di kota Halhul, kawasan Tepi Barat, pada Desember 1982, yang bahkan mengejutkan orang-orang Israel radikal, pengamat militer/politik ternama Yoram Perry menulis dalam nada protes bahwa salah satu, “tugas militer [Israel] sekarang adalah menghancurkan hak-hak orang-orang yang tidak berdosa hanya karena mereka merupakan ‘Araboushim’ yang tinggal di wilayah-wilayah yang Tuhan janjikan bagi kita;” sebuah tugas yang menjadi jauh lebih penting, ketika para ‘Araboushim’ tersebut mulai menegakkan ‘kepala-kepala mereka’ beberapa tahun kemudian.

Kita dapat dengan mudah mengukur tingkat kejujuran sentimen-sentimen yang diekspresikan mengenai pembunuhan Klinghoffer. Kita cukup menginvestigasi reaksi-reaksi berkenaan dengan kejahatan-kejahatan Israel yang didukung Amerika. Sebagai contoh, ambillah kasus pembunuhan pada April 2002 terhadap dua warga disabel Palestina, Kemal Zughayer dan Jamal Rashid, oleh militer Israel yang menyerbu kamp pengungsi Palestina di Jenin, Tepi Barat. Potongan-potongan tubuh Zughayer dan sisa-sisa kursi rodanya ditemukan para reporter Inggris, bersama dengan robekan bendera putih yang digenggam Zughayer ketika ditembak dan berusaha menghindar dari buruan tank-tank Israel yang akhirnya melindas tubuhnya, membelah wajahnya menjadi dua, serta memutuskan tangan dan kakinya. Jamal Rashid, yang sedang duduk di kursi rodanya, dilindas oleh sebuah buldoser besar milik Israel yang disuplai perusahaan AS Caterpillar ketika buldoser itu menghancurkan rumahnya di Jenin berikut keluarganya yang tengah berada di dalamnya. Reaksi yang berbeda, atau mungkin non-reaksi, telah menjadi rutinitas dan begitu mudah dijelaskan sehingga tidak ada kebutuhan lebih jauh kepada sebuah komentar.

Bom Mobil

Jelas, pemboman atas Tunis pada 1985 lebih jahat ketimbang pembajakan Archille Lauro, atau daripada kejahatan dimana ‘keterlibatan Mughniyah dapat ditemukan dengan kepastian’ pada tahun yang sama. Namun demikian, pemboman atas Tunis sekalipun bahkan memiliki pesaing-pesaingnya untuk mendapatkan ‘kehormatan’ sebagai “kekerasan teroris paling buruk” di Timur Tengah pada 1985.

Salah satu pesaingnya adalah sebuah bom mobil di Beirut, tepat di luar sebuah mesjid, yang dirancang untuk meledak ketika jemaah salat Jumat meninggalkan mesjid itu. Bom itu membunuh 80 orang dan melukai 250 lainnya. Sebagian besar yang mati adalah kaum perempuan, yang baru saja meninggalkan mesjid itu meskipun brutalitas ledakan itu juga “membakar bayi-bayi di atas tempat-tempat tidur mereka”; “membunuh seorang calon pengantin perempuan yang hendak membeli baju pengantinnya”; dan “meledakkan tiga anak kecil yang sedang pulang dari mesjid menuju rumah mereka”. Ledakan itu juga “menghancurkan jalan utama di kawasan padat penduduk” di pinggiran Barat Beirut, demikian dilaporkan Nora Boustany dari Washington Post tiga tahun kemudian.

Sasaran bom itu adalah ulama Syiah, Syeikh Muhammad Husain Fadhlullah, yang berhasil lolos. Pemboman itu dieksekusi oleh CIA di bawah rezim Reagan bersama sekutu-sekutu Saudi-nya, dengan bantuan Inggris, dan secara khusus ditangani Direktur CIA William Casey, demikian menurut reporter Washington Post Bob Woodward dalam bukunya Veil: the Secret Wars of the CIA, 1981-1987. Sedikit yang bisa diketahui di balik fakta-fakta yang telanjang. Ini berkat doktrin bahwa kita tidak akan menginvestigasi kejahatan-kejahatan kita sendiri (terkecuali semua itu terlalu sulit untuk ditutupi, dan pemeriksaan dapat dibatasi hanya pada beberapa “elemen nakal” berpangkat rendah yang biasanya berada “di luar kendali”).

“Kaum Teroris Dusun”

Pesaing ketiga bagi “penghargaan terorisme Timur Tengah 1985” adalah operasi-operasi “Iron Fist” Perdana Menteri Peres di wilayah selatan Lebanon yang saat itu diduduki Israel, pendudukan yang melanggar perintah-perintah Dewan Keamanan. Targetnya adalah apa yang disebut oleh Komando Tertinggi Israel sebagai “Kaum Teroris Dusun”. Kejahatan-kejahatan Peres dalam kasus-kasus ini tenggelam ke titik terendah dari apa yang disebut oleh seorang diplomat Barat yang akrab dengan wilayah tersebut sebagai “brutalitas yang terkalkulasi dan pembunuhan arbitrer”; sebuah standar yang secara penuh didukung oleh peliputan langsung. Dengan demikian, tidak ada kepentingan bagi “dunia” dan karenanya kasus-kasus ini tetap tidak diinvestigasi, sesuai dengan konvensi-konvensi umum. Kita mungkin akan bertanya apakah kejahatan-kejahatan itu masuk dalam kategori terorisme internasional atau kejahatan agresi yang lebih kejam. Namun, sekali lagi biarlah kita tidak berprasangka buruk kepada Israel dan para pendukungnya di Washington dan tetap memilih dakwaan yang lebih rendah.

Ini adalah sedikit pemikiran yang mungkin melintas di dalam pikiran-pikiran banyak orang di dunia, bukan mereka yang di “dunia”, ketika mempertimbangkan “satu dari sedikit kesempatan” dimana Mughniyah dipandang terlibat dalam sebuah kejahatan teroris.

AS juga menuduh Mughniyah bertanggung jawab atas serangan bom bunuh diri sebuah truk yang menghancurkan barak-barak pasukan marinir AS dan Perancis di Lebanon pada 1983, yang membunuh 241 marinir dan 58 pasukan penerjun, dan juga serangan sebelumnya terhadap Kedutaan Besar AS di Beirut, yang menewaskan 63 orang, sebuah pukulan serius terutama karena saat itu tengah dilangsungkannya sebuah pertemuan para pejabat CIA di sana.

The Financial Times, bagaimanapun, mengaitkan serangan atas barak-barak marinir kepada kelompok Jihad Islam, bukan Hizbullah. Fawaz Gerges, salah satu analis terkemuka tentang gerakan-gerakan jihad dan Lebanon, menulis bahwa tanggung jawab serangan itu telah diakui oleh, “sebuah kelompok tidak kenal yang disebut Jihad Islam.” Sebuah suara yang berbicara dalam bahasa Arab klasik menyeru kepada semua orang Amerika untuk meninggalkan Lebanon atau menghadapi kematian. Telah diklaim bahwa Mughniyah adalah pemimpin Jihad Islam pada saat itu, tetapi sepanjang yang saya ketahui, bukti mengenai hal itu sangatlah sedikit.

Opini dunia tidak pernah diuji mengenai persoalan itu, tetapi adalah mungkin bahwa ada beberapa keraguan mengenai penyebutan “serangan teroris” bagi sebuah serangan atas sebuah pangkalan militer di sebuah negara asing, khususnya ketika pasukan AS dan Perancis melakukan pemboman massif dan serangan udara atas Lebanon, dan setelah AS menyuplai dukungan kuat bagi invasi Israel atas Lebanon pada 1982, yang membunuh sekitar 20 ribu orang dan menghancurkan kawasan selatan Lebanon serta meninggalkan puing-puing di sebagian besar Beirut. Akhirnya pasukan AS ini ditarik oleh Reagan ketika protes internasional terlalu deras untuk diabaikan setelah terjadinya pembantaian Sabra-Shatila.

Di Amerika Serikat, invasi Israel atas Lebanon secara reguler digambarkan sebagai reaksi terhadap serangan-serangan teroris Palestine Liberation Organization (PLO) atas wilayah utara Israel dari basis-basis mereka di Lebanon. Sebuah gambaran yang menjadikan keterlibatan kita dalam kejahatan perang tersebut sebagai bisa dipahami. Dalam dunia yang riil, perbatasan Lebanon selama satu tahun sebelumnya adalah area yang tenang, terlepas dari berbagai serangan Israel, yang sebagian besar di antaranya sangatlah brutal. Serangan-serangan yang dilakukan dalam upaya memicu respon PLO yang akan dijadikan dalih bagi invasi yang sebelumnya telah direncanakan. Maksud utamanya tidaklah ditutup-tutupi pada saat itu oleh analis-analis dan pemimpin-pemimpin Israel, yakni untuk mengamankan pengambil-alihan Israel atas wilayah pendudukan Tepi Barat. Inilah sebagian kepentingan yang menjadi satu-satunya kesalahan penting dalam buku Jimmy Carter, Peace not Apartheid. Apa yang ditulis Carter dalam buku itu merupakan pengulangan propaganda tersebut yang menggambarkan serangan-serangan PLO dari Lebanon sebagai motif invasi Israel. Buku itu kemudian diserang habis-habisan, dan berbagai upaya dilakukan untuk menemukan beberapa frase yang mungkin disalahartikan, tetapi kesalahan yang jelas ini—kesalahan satu-satunya—tetaplah diabaikan. Adalah masuk akal karena buku itu memenuhi kriteria untuk tetap setiap kepada manipulasi-manipulasi doktrinal yang bermanfaat.

Membunuh tanpa Maksud

Tuduhan lain yang dialamatkan kepada Mughniyah sebagai “dalang utamanya” adalah pemboman atas Kedubes Israel di Buenos Aires pada 17 Maret 1992, yang menewaskan 29 orang. The Financial Times menulis serangan itu dilakukan sebagai respon bagi “pembunuhan atas pemimpin Hizbullah Abbas Musawi dalam sebuah serangan udara di selatan Lebanon.” Mengenai pembunuhan itu, tidak perlu dibuktikan lagi: Israel secara bangga mengakui bertanggung jawab atasnya. Dunia mungkin memiliki beberapa kepentingan dalam sebagian kisah yang tersisa. Al-Musawi dibunuh dengan sebuah helikopter yang disuplai AS, tepat di sebelah utara “zona keamanan” ilegal Israel di selatan Lebanon. Dia tengah dalam perjalanan menuju Sidon dari sebuah desa bernama Jibshit, tempat dia berbicara dalam acara perkabungan bagi imam lainnya yang dibunuh Israel. Serangan helikopter itu juga membunuh istri dan anaknya yang berusia lima tahun. Israel, dengan menggunakan helikopter-helikopter AS lainnya, kemudian menyerang sebuah mobil yang sedang membawa para korban luka-luka dari serangan yang pertama ke sebuah rumah sakit.

Setelah pembunuhan atas keluarga Musawi itu, Perdana Menteri Rabin mengatakan kepada Knesset bahwa Hizbullah “telah menggubah aturan permainan.” Sebelumnya, tidak pernah ada roket yang diluncurkan ke Israel. Sebelum itu, aturan permainannya adalah: Israel akan melancarkan serangan mematikan ke wilayah mana pun di Lebanon, dan Hizbullah hanya akan meresponnya di dalam wilayah Lebanon yang diduduki Israel.

Setelah pembunuhan atas pemimpinnya (berikut keluarga sang pemimpin itu), Hizbullah mulai merespon kejahatan-kejahatan Israel di wilayah Lebanon dengan menembakkan roket ke utara Israel. Aksi yang terakhir itu jelas tidak bisa ditoleransi, sehingga Rabin melancarkan sebuah invasi yang mengusir 500 ribu rakyat Lebanon dari rumah-rumah mereka dan membunuh lebih daripada 100 orang. Serangan-serangan Israel yang tanpa ampun itu bahkan telah mencapai wilayah paling utara Lebanon.

Di selatan, 80% warga Tyre meninggalkan dusun mereka dan Nabatiye ditinggalkan bagaikan sebuah “kota hantu”, serta 70% Jibshit telah rata dengan tanah, demikian dilaporkan jurubicara militer Israel, yang menjelaskan bahwa maksud serangan itu adalah untuk “menghancurkan dusun-dusun itu secara total karena dianggap penting bagi populasi Syiah di selatan Lebanon.” Tujuannya adalah “untuk menghapuskan dusun-dusun itu dari muka bumi dan menebarkan kerusakan di sekitarnya,” demikian seorang pejabat senior komando utara Israel menggambarkan operasi itu.

Jibshit mungkin merupakan target yang khusus karena menjadi rumah bagi Syeikh Abdul Karim Obeid, yang diculik dan dibawa ke Israel beberapa tahun sebelumnya. Rumah Obeid bahkan “menerima langsung hantaman sebuah rudal,” jurnalis Inggris Robert Fisk melaporkan, “meskipun Israel sangat mungkin hanya ingin membunuh istri dan tiga anak [Obeid].” “Mereka yang berhasil melarikan diri bersembunyi dalam ketakutan,” tulis Mark Nicholson dalam the Financial Times, “karena setiap gerakan yang terlihat di dalam atau di luar rumah akan menarik perhatian artileri Israel, yang tanpa henti menembakkan mortir-mortir mereka dan menghancurkan target-target yang telah dipilih.” Mortir-mortir artileri menghantam dusun-dusun itu rata-rata lebih daripada 10 kali per menit.

Semua itu mendapatkan dukungan kuat dari Presiden Bill Clinton, yang mengerti benar kebutuhan untuk memberi pelajaran secara brutal kepada Araboushim tentang “aturan permainannya”. Dan Rabin pun tampil sebagai pahlawan besar dan tokoh perdamaian lainnya, begitu berbeda dengan “para binatang buas berkaki dua”, “para belalang”, dan “para kecoa beracun”.

Ini hanyalah sebuah contoh kecil dari fakta-fakta yang mungkin menarik perhatian dunia dalam kaitan dengan tanggung jawab yang dituduhkan kepada Mughniyah bagi tindakan teroris pembalasan di Buenos Aires.

Tuduhan-tuduhan lainnya adalah bahwa Mughniyah membantu menyiapkan pertahanan Hizbullah dalam menghadapi invasi Israel atas Lebanon pada 2006. Tindakan Mughniyah itu pastinya merupakan sebuah kejahatan terorisme yang tidak bisa ditoleransi oleh standar-standar “dunia”, yang hanya mengerti bahwa AS dan klien-kliennya tidak boleh menghadapi hambatan apa pun dalam teror dan agresi mereka yang adil itu.

Apologi-apologi vulgar lainnya bagi kejahatan-kejahatan AS dan Israel dengan seriusnya menjelaskan bahwa, sementara Arab dengan sengaja membunuhi orang-orang, maka AS dan Israel, sebagai komunitas-komunitas demokratis, tidak berniat untuk melakukan hal demikian. Pembunuhan-pembunuhan yang mereka lakukan hanyalah insiden-insiden yang tidak disengaja, karenanya tidak dapat dibandingkan dengan level imoralitas musuh-musuh mereka. Sebagai contoh, pandangan itulah yang dianut oleh Pengadilan Tinggi Israel ketika mengotorisasi hukuman kolektif terhadap warga Gaza dengan memutuskan suplai listrik (dan kemudian air, pembuangan limbah, dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya yang menjadi syarat bagi kehidupan yang beradab).

Pembelaan yang sama tersebut adalah biasa dalam kaitan dengan beberapa dosa masa lalu Washington, seperti penghancuran pabrik farmasi al-Shifa di Sudan pada 1998. Serangan ini mengakibatkan kematian puluhan ribu manusia. Tetapi karena tidak ada niat untuk membunuh mereka, maka ia dianggap bukan sebuah kejahatan atas perintah pembunuhan terencana—jadi kita telah diajarkan oleh para moralis yang secara konsisten membungkam respon yang diberikan kepada upaya-upaya justifikasi-diri tersebut.

Untuk mengulangi sekali lagi, kita dapat membedakan tiga kategori kejahatan: pembunuhan terencana, pembunuhan tidak terencana, dan pembunuhan dengan kesadaran meskipun tanpa maksud yang spesifik. Brutalitas-brutalitas Israel dan AS secara tipikal masuk ke dalam kategori ketiga. Dengan demikian, ketika Israel menghancurkan suplai energi di Gaza atau membangun dinding-dinding pembatas untuk bepergian ke Tepi Barat, ia tidak secara spesifik bermaksud untuk membunuh warga yang mati karena air yang tercemar atau karena ambulan-ambulan yang tidak sampai ke rumah sakit. Dan ketika Bill Clinton memerintahkan pemboman atas pabrik al-Shifa, adalah jelas bahwa perintah itu akan mengakibatkan sebuah bencana kemanusiaan. Human Rights Watch segera memberi tahunya mengenai hal ini, seraya menyampaikan rinciannya; tetapi bagaimanapun, dia dan para penasehatnya tidak bermaksud untuk membunuh orang-orang yang akan mati ketika setengah suplai obat-obatan dihancurkan di sebuah negeri miskin di Afrika.

Tampaknya, mereka dan para pembela mereka memang memandang orang-orang Afrika layaknya kita memandang semut yang kita injak ketika berjalan di sebuah jalan. Kita sadar bahwa hal itu (dampak dari tindakan) akan terjadi (jika kita tidak berkeberatan untuk memikirkannya), tetapi kita tidak bermaksud untuk membunuh mereka karena mereka tidak berharga untuk dipikirkan. Jelaslah, serangan-serangan yang sama oleh para “Araboushim” di wilayah-wilayah yang dihuni umat manusia akan dipandang sangat berbeda.

Apabila, untuk sementara, kita dapat mengadopsi perspektif tersebut tentang dunia, maka kita mungkin bertanya penjahat jenis manakah yang “diburu seluruh dunia”.[countercurrent]

Noam Chomsky adalah linguis, filosof, pemikir kontemporer Amerika. Ia juga penulis sejumlah buku politik “best-seller”. Buku terakhirnya adalah Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy dan What We Say Goes, sebuah buku percakapan dengan David Barsamian.