Berikut ini adalah tulisan Noam Chomsky, filosof dan pemikir kontemporer Amerika, yang membongkar istilah “most wanted list” bagipara teroris dari dua pandangan berbeda: pandangan “dunia” [dengan tanda kutip” dan dunia [tanpa tanda kutip].
Pada 13 Februari, Imad Mughniyah, komandan senior Hizbullah dibunuh di Damaskus. “Dunia akan menjadi lebih baik tanpa orang seperti dia di dalamnya,” Jurubicara Kementerian Luar Negeri [AS] Sean McCormack berkata, “Bagaimanapun caranya, dia telah dihadapkan ke pengadilan.” Direktur Intelijen Nasional [AS] Mike McConnel menambahkan bahwa Mughniyah, “bertanggung jawab atas kematian orang Amerika dan Israel lebih daripada teroris lainnya, terkecuali Osama bin Laden.”
Perasaan senang tak tertahankan lagi dari Israel. “Salah satu dari orang ‘yang paling dicari’ oleh AS dan Israel telah dihadapkan ke pengadilan,” demikian dilaporkan The London Financial Times. Di bawah judul headline, “A militant wanted the world over”, berita yang menyertainya melaporkan dia [Mughniyah] hanya dilampaui dalam daftar “yang paling dicari” oleh Osama bin Laden setelah 9/11 dan dengan demikian menduduki urutan kedua di antara “para militan yang paling dicari di dunia”.
Terminologi tersebut [“yang paling dicari di dunia”] cukup akurat menurut aturan diskursus Anglo-Amerika, yang mendefinisikan “dunia” sebagai kelas politik di Washington dan London (dan siapa pun yang sepakat dengan mereka dalam hal-hal tertentu). Adalah umum, misalnya, untuk membaca “dunia” sepenuhnya mendukung George W. Bush ketika dia memerintahkan pemboman Afghanistan. Mungkin benar bahwa itu “dunia” tetapi pasti bukan dunia [tanpa tanda kutip] yang ditampakkan dalam sebuah jajak pendapat internasional Gallup Poll setelah pemboman itu diumumkan. Dukungan global sangat kecil. Di Amerika Latin, yang mempunyai pengalaman dengan perilaku AS, dukungan hanya berkisar dari 2% di Meksiko hingga 16% di Panama. Terdapat sebuah preferensi yang besar di dunia ini bagi standar-standar penilaian, yang ditolak begitu saja oleh “sang dunia” .
Mengamati Pengadilan atas Teror
Dalam kasus-kasus kontemporer, jika “dunia” diperluas menjadi dunia, maka kita akan menemukan beberapa kandidat lain untuk menempati posisi terhormat sebagai kriminal-kriminal yang paling dibenci. Adalah informatif untuk bertanya mengapa hal ini mungkin benar adanya.
The Financial Times melaporkan bahwa sebagian besar tuduhan atas Mughniyah tidak bisa dibuktikan, tetapi “salah satu dari sedikit kesempatan ketika keterlibatannya dapat ditemukan dengan kepastian (adalah dalam) pembajakan sebuah pesawat TWA pada 1985, yang dalam peristiwa itu seorang penyelam AL AS dibunuh.” Ini adalah salah satu dari dua peristiwa terorisme yang memimpin jajak pendapat dari para editor suratkabar untuk memilih insiden terorisme Timur Tengah yang menjadi berita utama pada 1985; yang lainnya adalah pembajakan kapal feri Archille Lauro, yang di dalamnya seorang disable Amerika, Leon Klinghoffer, dibunuh secara brutal. Itu merefleksikan penilaian “dunia”. Adalah mungkin bahwa dunia melihat persoalan-persoalan sedikit berbeda.
Pembajakan Archille Lauro adalah pembalasan atas pemboman atas Tunis yang diperintahkan satu minggu sebelumnya oleh Perdana Menteri Israel Shimon Peres. Di antara aksi-aksi brutal yang lain, angkatan udara Israel [dalam peristiwa Tunis] membunuh 75 orang Tunisia dan Palestina dengan bom-bom pintar yang merobek-robek tubuh-tubuh mereka menjadi potongan-potongan, demikian sebagaimana dilaporkan secara jelas dari lapangan oleh jurnalis ternama Israel, Amnon Kapeliouk. Washington ikut terlibat karena gagal memperingatkan sekutunya Tunisia bahwa pesawat-pesawat pembom sedang menuju ke sana, meskipun Armada Keenam dan Intelijen Amerika mustahil tidak menyadari potensi serangan itu. Menteri Luar Negeri George Shultz menginformasikan Menlu Israel Yitzhak Shamir bahwa Washington “sangat bersimpati kepada aksi Israel itu,” yang dia istilahkan dengan “sebuah respon yang sah” terhadap “serangan-serangan teroris,” mengarah kepada persetujuan yang umum. Beberapa hari selanjutnya, Dewan Keamanan PBB secara bulat mengecam aksi pemboman itu sebagai “tindakan agresi bersenjata” (dengan AS yang abstain). Tentu saja, “agresi” adalah sebuah kejahatan yang jauh lebih serius ketimbang terorisme internasional. Namun dengan sedikit beprasangka baik kepada AS dan Israel, mari kita memusatkan perhatian kepada tuduhan-tuduhan yang lebih kecil terhadap kepemimpinan mereka.
Beberapa hari setelahnya, Peres pergi ke Washington untuk berkonsultasi dengan pemimpin teroris pada masa itu, Ronald Reagan, yang mengecam “dampak buruk terorisme,” lagi-lagi dengan persetujuan umum dari “dunia”.
“Serangan-serangan teroris” yang Shultz dan Peres tawarkan sebagai dalih bagi pemboman atas Tunis adalah pembunuhan tiga orang Israel di Larnaca, Siprus. Para pembunuhnya, sebagaimana diakui Israel, tidak ada kaitannya dengan Tunis, meskipun mereka mungkin memiliki koneksi-koneksi dengan orang Suriah. Namun demikian, Tunis adalah sebuah sasaran yang lebih disukai. Kota itu sangat rapuh keamanannya dibandingkan Damaskus. Dan di sana ada kesenangan ekstra: ada lebih banyak pengungsi Palestina yang bisa dibunuh.
Pembunuhan di Larnaca, salah satunya, dijadikan sebagai aksi pembalasan oleh para pelaku [perlawanan terhadap Israel]: semuanya merupakan respon terhadap pembajakan-pembajakan reguler Israel di wilayah perairan internasional, dimana banyak korbannya dibunuh—dan sebagiannya diculik serta dimasukkan ke dalam penjara-penjara di Israel, umumnya ditahan dalam periode yang lama tanpa dakwaan. Salah satu penjara yang terkenal adalah ruangan penyiksaan Fasilitas 1391. Laporan detail mengenai fasilitas rahasia ini dapat dipelajari dari pers Israel dan asing. Kejahatan-kejahatan reguler Israel semacam itu, tentu saja, umum diketahui oleh para editor pers nasional di AS, dan kadang disebutkan secara dingin.
Pembunuhan terhadap Klinghoffer secara akurat digambarkan dengan kengerian, dan sangat populer. Ia adalah topik dari sebuah opera yang disanjung-sanjung dan dijadikan film televisi, dan tentu saja disertai berbagai komentar mengerikan tentang barbaritas orang Palestina: “moster berkaki dua” (Menachem Begin); “para kecoa beracun yang bergerombol dalam sebuah botol” (Kepala Staf Raful Eitan); “seperti belalang-belalang jika dibandingkan dengan kita,” yang kepalanya “harus dibenturkan kepada batu dan dinding” (Yitzhak Shamir). Atau yang lebih umum, “Araboushim”, padanan slang untuk “kike” atau “nigger”.
Dengan demikian, setelah praktik teror militer para pemukim [Yahudi] dan perlakuan tidak senonoh, yang dilakukan dengan penuh maksud, di kota Halhul, kawasan Tepi Barat, pada Desember 1982, yang bahkan mengejutkan orang-orang Israel radikal, pengamat militer/politik ternama Yoram Perry menulis dalam nada protes bahwa salah satu, “tugas militer [Israel] sekarang adalah menghancurkan hak-hak orang-orang yang tidak berdosa hanya karena mereka merupakan ‘Araboushim’ yang tinggal di wilayah-wilayah yang Tuhan janjikan bagi kita;” sebuah tugas yang menjadi jauh lebih penting, ketika para ‘Araboushim’ tersebut mulai menegakkan ‘kepala-kepala mereka’ beberapa tahun kemudian.
Kita dapat dengan mudah mengukur tingkat kejujuran sentimen-sentimen yang diekspresikan mengenai pembunuhan Klinghoffer. Kita cukup menginvestigasi reaksi-reaksi berkenaan dengan kejahatan-kejahatan Israel yang didukung Amerika. Sebagai contoh, ambillah kasus pembunuhan pada April 2002 terhadap dua warga disabel Palestina, Kemal Zughayer dan Jamal Rashid, oleh militer Israel yang menyerbu kamp pengungsi Palestina di Jenin, Tepi Barat. Potongan-potongan tubuh Zughayer dan sisa-sisa kursi rodanya ditemukan para reporter Inggris, bersama dengan robekan bendera putih yang digenggam Zughayer ketika ditembak dan berusaha menghindar dari buruan tank-tank Israel yang akhirnya melindas tubuhnya, membelah wajahnya menjadi dua, serta memutuskan tangan dan kakinya. Jamal Rashid, yang sedang duduk di kursi rodanya, dilindas oleh sebuah buldoser besar milik Israel yang disuplai perusahaan AS Caterpillar ketika buldoser itu menghancurkan rumahnya di Jenin berikut keluarganya yang tengah berada di dalamnya. Reaksi yang berbeda, atau mungkin non-reaksi, telah menjadi rutinitas dan begitu mudah dijelaskan sehingga tidak ada kebutuhan lebih jauh kepada sebuah komentar.
Jelas, pemboman atas Tunis pada 1985 lebih jahat ketimbang pembajakan Archille Lauro, atau daripada kejahatan dimana ‘keterlibatan Mughniyah dapat ditemukan dengan kepastian’ pada tahun yang sama. Namun demikian, pemboman atas Tunis sekalipun bahkan memiliki pesaing-pesaingnya untuk mendapatkan ‘kehormatan’ sebagai “kekerasan teroris paling buruk” di Timur Tengah pada 1985.
Salah satu pesaingnya adalah sebuah bom mobil di Beirut, tepat di luar sebuah mesjid, yang dirancang untuk meledak ketika jemaah salat Jumat meninggalkan mesjid itu. Bom itu membunuh 80 orang dan melukai 250 lainnya. Sebagian besar yang mati adalah kaum perempuan, yang baru saja meninggalkan mesjid itu meskipun brutalitas ledakan itu juga “membakar bayi-bayi di atas tempat-tempat tidur mereka”; “membunuh seorang calon pengantin perempuan yang hendak membeli baju pengantinnya”; dan “meledakkan tiga anak kecil yang sedang pulang dari mesjid menuju rumah mereka”. Ledakan itu juga “menghancurkan jalan utama di kawasan padat penduduk” di pinggiran Barat Beirut, demikian dilaporkan Nora Boustany dari Washington Post tiga tahun kemudian.
Sasaran bom itu adalah ulama Syiah, Syeikh Muhammad Husain Fadhlullah, yang berhasil lolos. Pemboman itu dieksekusi oleh CIA di bawah rezim Reagan bersama sekutu-sekutu Saudi-nya, dengan bantuan Inggris, dan secara khusus ditangani Direktur CIA William Casey, demikian menurut reporter Washington Post Bob Woodward dalam bukunya Veil: the Secret Wars of the CIA, 1981-1987. Sedikit yang bisa diketahui di balik fakta-fakta yang telanjang. Ini berkat doktrin bahwa kita tidak akan menginvestigasi kejahatan-kejahatan kita sendiri (terkecuali semua itu terlalu sulit untuk ditutupi, dan pemeriksaan dapat dibatasi hanya pada beberapa “elemen nakal” berpangkat rendah yang biasanya berada “di luar kendali”).
Pesaing ketiga bagi “penghargaan terorisme Timur Tengah 1985” adalah operasi-operasi “Iron Fist” Perdana Menteri Peres di wilayah selatan Lebanon yang saat itu diduduki Israel, pendudukan yang melanggar perintah-perintah Dewan Keamanan. Targetnya adalah apa yang disebut oleh Komando Tertinggi Israel sebagai “Kaum Teroris Dusun”. Kejahatan-kejahatan Peres dalam kasus-kasus ini tenggelam ke titik terendah dari apa yang disebut oleh seorang diplomat Barat yang akrab dengan wilayah tersebut sebagai “brutalitas yang terkalkulasi dan pembunuhan arbitrer”; sebuah standar yang secara penuh didukung oleh peliputan langsung. Dengan demikian, tidak ada kepentingan bagi “dunia” dan karenanya kasus-kasus ini tetap tidak diinvestigasi, sesuai dengan konvensi-konvensi umum. Kita mungkin akan bertanya apakah kejahatan-kejahatan itu masuk dalam kategori terorisme internasional atau kejahatan agresi yang lebih kejam. Namun, sekali lagi biarlah kita tidak berprasangka buruk kepada Israel dan para pendukungnya di Washington dan tetap memilih dakwaan yang lebih rendah.
Ini adalah sedikit pemikiran yang mungkin melintas di dalam pikiran-pikiran banyak orang di dunia, bukan mereka yang di “dunia”, ketika mempertimbangkan “satu dari sedikit kesempatan” dimana Mughniyah dipandang terlibat dalam sebuah kejahatan teroris.
AS juga menuduh Mughniyah bertanggung jawab atas serangan bom bunuh diri sebuah truk yang menghancurkan barak-barak pasukan marinir AS dan Perancis di Lebanon pada 1983, yang membunuh 241 marinir dan 58 pasukan penerjun, dan juga serangan sebelumnya terhadap Kedutaan Besar AS di Beirut, yang menewaskan 63 orang, sebuah pukulan serius terutama karena saat itu tengah dilangsungkannya sebuah pertemuan para pejabat CIA di sana.
The Financial Times, bagaimanapun, mengaitkan serangan atas barak-barak marinir kepada kelompok Jihad Islam, bukan Hizbullah. Fawaz Gerges, salah satu analis terkemuka tentang gerakan-gerakan jihad dan Lebanon, menulis bahwa tanggung jawab serangan itu telah diakui oleh, “sebuah kelompok tidak kenal yang disebut Jihad Islam.” Sebuah suara yang berbicara dalam bahasa Arab klasik menyeru kepada semua orang Amerika untuk meninggalkan Lebanon atau menghadapi kematian. Telah diklaim bahwa Mughniyah adalah pemimpin Jihad Islam pada saat itu, tetapi sepanjang yang saya ketahui, bukti mengenai hal itu sangatlah sedikit.
Opini dunia tidak pernah diuji mengenai persoalan itu, tetapi adalah mungkin bahwa ada beberapa keraguan mengenai penyebutan “serangan teroris” bagi sebuah serangan atas sebuah pangkalan militer di sebuah negara asing, khususnya ketika pasukan AS dan Perancis melakukan pemboman massif dan serangan udara atas Lebanon, dan setelah AS menyuplai dukungan kuat bagi invasi Israel atas Lebanon pada 1982, yang membunuh sekitar 20 ribu orang dan menghancurkan kawasan selatan Lebanon serta meninggalkan puing-puing di sebagian besar Beirut. Akhirnya pasukan AS ini ditarik oleh Reagan ketika protes internasional terlalu deras untuk diabaikan setelah terjadinya pembantaian Sabra-Shatila.
Di Amerika Serikat, invasi Israel atas Lebanon secara reguler digambarkan sebagai reaksi terhadap serangan-serangan teroris Palestine Liberation Organization (PLO) atas wilayah utara Israel dari basis-basis mereka di Lebanon. Sebuah gambaran yang menjadikan keterlibatan kita dalam kejahatan perang tersebut sebagai bisa dipahami. Dalam dunia yang riil, perbatasan Lebanon selama satu tahun sebelumnya adalah area yang tenang, terlepas dari berbagai serangan Israel, yang sebagian besar di antaranya sangatlah brutal. Serangan-serangan yang dilakukan dalam upaya memicu respon PLO yang akan dijadikan dalih bagi invasi yang sebelumnya telah direncanakan. Maksud utamanya tidaklah ditutup-tutupi pada saat itu oleh analis-analis dan pemimpin-pemimpin Israel, yakni untuk mengamankan pengambil-alihan Israel atas wilayah pendudukan Tepi Barat. Inilah sebagian kepentingan yang menjadi satu-satunya kesalahan penting dalam buku Jimmy Carter, Peace not Apartheid. Apa yang ditulis Carter dalam buku itu merupakan pengulangan propaganda tersebut yang menggambarkan serangan-serangan PLO dari Lebanon sebagai motif invasi Israel. Buku itu kemudian diserang habis-habisan, dan berbagai upaya dilakukan untuk menemukan beberapa frase yang mungkin disalahartikan, tetapi kesalahan yang jelas ini—kesalahan satu-satunya—tetaplah diabaikan. Adalah masuk akal karena buku itu memenuhi kriteria untuk tetap setiap kepada manipulasi-manipulasi doktrinal yang bermanfaat.
Tuduhan lain yang dialamatkan kepada Mughniyah sebagai “dalang utamanya” adalah pemboman atas Kedubes Israel di Buenos Aires pada 17 Maret 1992, yang menewaskan 29 orang. The Financial Times menulis serangan itu dilakukan sebagai respon bagi “pembunuhan atas pemimpin Hizbullah Abbas Musawi dalam sebuah serangan udara di selatan Lebanon.” Mengenai pembunuhan itu, tidak perlu dibuktikan lagi: Israel secara bangga mengakui bertanggung jawab atasnya. Dunia mungkin memiliki beberapa kepentingan dalam sebagian kisah yang tersisa. Al-Musawi dibunuh dengan sebuah helikopter yang disuplai AS, tepat di sebelah utara “zona keamanan” ilegal Israel di selatan Lebanon. Dia tengah dalam perjalanan menuju Sidon dari sebuah desa bernama Jibshit, tempat dia berbicara dalam acara perkabungan bagi imam lainnya yang dibunuh Israel. Serangan helikopter itu juga membunuh istri dan anaknya yang berusia lima tahun. Israel, dengan menggunakan helikopter-helikopter AS lainnya, kemudian menyerang sebuah mobil yang sedang membawa para korban luka-luka dari serangan yang pertama ke sebuah rumah sakit.
Setelah pembunuhan atas keluarga Musawi itu, Perdana Menteri Rabin mengatakan kepada Knesset bahwa Hizbullah “telah menggubah aturan permainan.” Sebelumnya, tidak pernah ada roket yang diluncurkan ke Israel. Sebelum itu, aturan permainannya adalah: Israel akan melancarkan serangan mematikan ke wilayah mana pun di Lebanon, dan Hizbullah hanya akan meresponnya di dalam wilayah Lebanon yang diduduki Israel.
Setelah pembunuhan atas pemimpinnya (berikut keluarga sang pemimpin itu), Hizbullah mulai merespon kejahatan-kejahatan Israel di wilayah Lebanon dengan menembakkan roket ke utara Israel. Aksi yang terakhir itu jelas tidak bisa ditoleransi, sehingga Rabin melancarkan sebuah invasi yang mengusir 500 ribu rakyat Lebanon dari rumah-rumah mereka dan membunuh lebih daripada 100 orang. Serangan-serangan Israel yang tanpa ampun itu bahkan telah mencapai wilayah paling utara Lebanon.
Di selatan, 80% warga Tyre meninggalkan dusun mereka dan Nabatiye ditinggalkan bagaikan sebuah “kota hantu”, serta 70% Jibshit telah rata dengan tanah, demikian dilaporkan jurubicara militer Israel, yang menjelaskan bahwa maksud serangan itu adalah untuk “menghancurkan dusun-dusun itu secara total karena dianggap penting bagi populasi Syiah di selatan Lebanon.” Tujuannya adalah “untuk menghapuskan dusun-dusun itu dari muka bumi dan menebarkan kerusakan di sekitarnya,” demikian seorang pejabat senior komando utara Israel menggambarkan operasi itu.
Jibshit mungkin merupakan target yang khusus karena menjadi rumah bagi Syeikh Abdul Karim Obeid, yang diculik dan dibawa ke Israel beberapa tahun sebelumnya. Rumah Obeid bahkan “menerima langsung hantaman sebuah rudal,” jurnalis Inggris Robert Fisk melaporkan, “meskipun Israel sangat mungkin hanya ingin membunuh istri dan tiga anak [Obeid].” “Mereka yang berhasil melarikan diri bersembunyi dalam ketakutan,” tulis Mark Nicholson dalam the Financial Times, “karena setiap gerakan yang terlihat di dalam atau di luar rumah akan menarik perhatian artileri Israel, yang tanpa henti menembakkan mortir-mortir mereka dan menghancurkan target-target yang telah dipilih.” Mortir-mortir artileri menghantam dusun-dusun itu rata-rata lebih daripada 10 kali per menit.
Semua itu mendapatkan dukungan kuat dari Presiden Bill Clinton, yang mengerti benar kebutuhan untuk memberi pelajaran secara brutal kepada Araboushim tentang “aturan permainannya”. Dan Rabin pun tampil sebagai pahlawan besar dan tokoh perdamaian lainnya, begitu berbeda dengan “para binatang buas berkaki dua”, “para belalang”, dan “para kecoa beracun”.
Ini hanyalah sebuah contoh kecil dari fakta-fakta yang mungkin menarik perhatian dunia dalam kaitan dengan tanggung jawab yang dituduhkan kepada Mughniyah bagi tindakan teroris pembalasan di Buenos Aires.
Tuduhan-tuduhan lainnya adalah bahwa Mughniyah membantu menyiapkan pertahanan Hizbullah dalam menghadapi invasi Israel atas Lebanon pada 2006. Tindakan Mughniyah itu pastinya merupakan sebuah kejahatan terorisme yang tidak bisa ditoleransi oleh standar-standar “dunia”, yang hanya mengerti bahwa AS dan klien-kliennya tidak boleh menghadapi hambatan apa pun dalam teror dan agresi mereka yang adil itu.
Apologi-apologi vulgar lainnya bagi kejahatan-kejahatan AS dan Israel dengan seriusnya menjelaskan bahwa, sementara Arab dengan sengaja membunuhi orang-orang, maka AS dan Israel, sebagai komunitas-komunitas demokratis, tidak berniat untuk melakukan hal demikian. Pembunuhan-pembunuhan yang mereka lakukan hanyalah insiden-insiden yang tidak disengaja, karenanya tidak dapat dibandingkan dengan level imoralitas musuh-musuh mereka. Sebagai contoh, pandangan itulah yang dianut oleh Pengadilan Tinggi Israel ketika mengotorisasi hukuman kolektif terhadap warga Gaza dengan memutuskan suplai listrik (dan kemudian air, pembuangan limbah, dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya yang menjadi syarat bagi kehidupan yang beradab).
Pembelaan yang sama tersebut adalah biasa dalam kaitan dengan beberapa dosa masa lalu Washington, seperti penghancuran pabrik farmasi al-Shifa di Sudan pada 1998. Serangan ini mengakibatkan kematian puluhan ribu manusia. Tetapi karena tidak ada niat untuk membunuh mereka, maka ia dianggap bukan sebuah kejahatan atas perintah pembunuhan terencana—jadi kita telah diajarkan oleh para moralis yang secara konsisten membungkam respon yang diberikan kepada upaya-upaya justifikasi-diri tersebut.
Untuk mengulangi sekali lagi, kita dapat membedakan tiga kategori kejahatan: pembunuhan terencana, pembunuhan tidak terencana, dan pembunuhan dengan kesadaran meskipun tanpa maksud yang spesifik. Brutalitas-brutalitas Israel dan AS secara tipikal masuk ke dalam kategori ketiga. Dengan demikian, ketika Israel menghancurkan suplai energi di Gaza atau membangun dinding-dinding pembatas untuk bepergian ke Tepi Barat, ia tidak secara spesifik bermaksud untuk membunuh warga yang mati karena air yang tercemar atau karena ambulan-ambulan yang tidak sampai ke rumah sakit. Dan ketika Bill Clinton memerintahkan pemboman atas pabrik al-Shifa, adalah jelas bahwa perintah itu akan mengakibatkan sebuah bencana kemanusiaan. Human Rights Watch segera memberi tahunya mengenai hal ini, seraya menyampaikan rinciannya; tetapi bagaimanapun, dia dan para penasehatnya tidak bermaksud untuk membunuh orang-orang yang akan mati ketika setengah suplai obat-obatan dihancurkan di sebuah negeri miskin di Afrika.
Tampaknya, mereka dan para pembela mereka memang memandang orang-orang Afrika layaknya kita memandang semut yang kita injak ketika berjalan di sebuah jalan. Kita sadar bahwa hal itu (dampak dari tindakan) akan terjadi (jika kita tidak berkeberatan untuk memikirkannya), tetapi kita tidak bermaksud untuk membunuh mereka karena mereka tidak berharga untuk dipikirkan. Jelaslah, serangan-serangan yang sama oleh para “Araboushim” di wilayah-wilayah yang dihuni umat manusia akan dipandang sangat berbeda.
Apabila, untuk sementara, kita dapat mengadopsi perspektif tersebut tentang dunia, maka kita mungkin bertanya penjahat jenis manakah yang “diburu seluruh dunia”.[countercurrent]
Noam Chomsky adalah linguis, filosof, pemikir kontemporer Amerika. Ia juga penulis sejumlah buku politik “best-seller”. Buku terakhirnya adalah Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy dan What We Say Goes, sebuah buku percakapan dengan David Barsamian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar