Minggu, 14 Juni 2009

Ambalat dan Patriotisme: Kekayaan Nasional Yang di Abaikan



Peta Ambalat
Peta Ambalat
Mencermati kasus Ambalat yang “memanas” akhir-akhir ini, adalah penting bagi seluruh bangsa Indonesia untuk melakukan introspeksi. Sebab, bagaimanapun, kasus ini bukanlah muncul secara tiba-tiba tanpa preseden. Sebenarnya, ini adalah muara dari serangkaian sebab-sebab yang secara sengaja ataupun tidak, telah dibuat oleh seluruh anak negeri ini untuk melemahkan diri mereka sendiri; bangsa dan negaranya.

Indonesia adalah bangsa yang besar, dengan jumlah populasi termasuk sepuluh terbesar di dunia, dengan kekayaan yang sangat melimpah. Bahkan kalau kita mau mendempetkan peta kepulauan Nusantara dengan peta benua Eropa, kita akan melihat betapa jarak antara Sabang hingga Merauke itu sama jauhnya dengan panjang benua Eropa. Sebuah wilayah yang terbentang sangat luas. Belum lagi kalau diingat bahwa bentuk kepulauan Nusantara itu berserak dengan pola gugusan yang terpisah-pisah.

Tentu saja, dengan pola demografis dan geografis demikian, bangsa Indonesia memerlukan jiwa kebangsaan yang semestinya lebih besar dibanding bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan kata lain, kebanggaan sebagai sebuah bangsa yang bersatu perlu senantiasa dipupuk dan dikembangkan. Demikian pula, sistem pertahanan sebagai sebuah negara maritim tentu memerlukan kualitas dan kuantitas persenjataan yang lebih besar dan lebih baik. Namun, amat disayangkan, persoalan ini justru menjadi kontroversi yang tak berkesudahan. Dan yang lebih parah lagi, kontroversi ini bukan dihembuskan oleh negara lain atau negara tetangga, tetapi oleh anasir-anasir di dalam negeri.

Agaknya, inilah salah satu “keanehan” kita. Sebab, biasanya, naiknya anggaran militer sebuah negara akan memicu kontroversi negara lain. Contohnya, naiknya anggaran militer China bisanya membuat Amerika meradang, kendati militer Sang Paman Sam ini sendiri memiliki anggaran belanja terbesar di dunia dan terus membesar. Tetapi bagi Indonesia, sejauh ini tak ada keberatan oleh negara tetangga kalau kita menaikkan anggaran belanja pertahanan kita. Sebaliknya, justru anasir tertentu dalam negeri kita malah bersuara sangat lantang kalau kita sedikit saja memperhatikan tentara dan senjata kita.

Marilah kita tengok sedikit ke masa lalu. Siapakah yang telah melemahkan dan membuat angkatan bersenjata kita tampak loyo seperti sekarang ini? Siapakah yang senantiasa menempatkan TNI kita sebagai musuh bangsanya sendiri? Atau, selalu mengembuskan dikotomi sipil-militer? Dulu, kita mempunyai perusahaan pesawat udara (IPTN) yang membuat kita semua bangga sebagai bangsa Indonesia.

Namun, mengapakah perusahaan dirgantara yang sangat menjanjikan itu kini tak jelas keberadaannya dan mati suri? Ke manakah tenaga ahli yang sangat langka dan bernilai tinggi itu sekarang? Kita juga punya PT PAL yang memproduksi kapal-kapal yang sangat diperlukan oleh sebuah negara kepulauan. Bagaimanakah nasibnya kini? Kita juga punya PT PINDAD yang menghasilkan persenjataan bagi tentara kita.

Mengapa kita tak memelihara dan mengembangkannya lebih maju lagi? Kita juga punya lembaga penelitian atom nasional, juga badan antariksa nasional. Mengapa kita kini seolah membuangnya begitu rupa?

Kalau kita menganggap demokrasi sebagai kekayaan baru kita, maka semua itu memerlukan penjagaan. Kita tentunya tak bisa berdemokrasi dalam suasana terancam. Demokrasi hanya dapat bertumbuh manakala kita tumbuh sebagai negara yang kuat. Dan demokrasi kita gunakan untuk memperkuat bangsa ini, bukan malah melemahkannya. Sungguh, kita memerlukan demokrasi, tetapi kita tak dapat mengabaikan keselamatan kita: bangsa dan negeri ini!.

Tidak ada komentar: